Monday, August 25, 2014

Perbedaan Paradigma Mengenai Kemajuan Ilmu Pengetahuan

Perbedaan Paradigma Mengenai Kemajuan Ilmu Pengetahuan

(Perdebatan antara Popper-Kuhn-Feyerabend)

I. Pengantar
Ilmu pengetahuan memiliki dua dimensi yaitu: (1) Dimensi fenomena, yang mencakup (a) adanya masyarakat, (b) adanya proses, (c) adanya produk. (2) Dimensi struktural, yang komponennya adalah: (a) Objek sasaran (Gegenstand), (b) Gegenstand yang terus dipertanyakan, (c) adanya motif, (d) adanya temuan. 
Ilmu pengetahuan menjadi mungkin karena adanya asumsi dasar pengetahuan yaitu:
  • Dunia adalah riil terdiri dari alam dan hukum yang mengaturnya
  • Alam memiliki sifat beraturan, berpola dan terstruktur.
  • Kita dapat mengenal alam. Individu merupakan bagian dari alam. Individu dan gambaran sosial dapat dipelajari sama halnya dalam mempelajari alam.
  • Semua fenomena memiliki penyebab.  Adanya penjelasan ilmiah bagi perilaku manusia.
 Dalam makalah ini akan dibahas tentang pandangan bagaimana sains itu maju yang ditinjau dari sudut pandang 3 orang tokoh yakni Karl Popper, Thomas Kuhn dan Paul Feyerabend. Yang menjadi letak perdebatannya adalah pada sisi klaim atas bagaimana sains itu maju. Popper menekankan pada sisi rasionalitas dan objektivitas melalui prinsip falsifikasinya sebagai ciri utama dalam memahami perkembangan sains. Penekanan pada sisi rasionalitas dan objektivitas sains tersebut mendapat tentangan baik dari Kuhn maupun Feyerabend. Kuhn berfokus pada dimensi psikologis dan sosiologis yang mempengaruhi bagaimana sains itu maju, sementara Feyerabend menekankan pada pendekatan anarkistik. Oleh karenanya, pada bagian pertama akan dipaparkan tentang prinsip falsifikasi Popper. Kemudian pembahasan akan dilanjutkan dengan kritik Kuhn atas Popper dan juga kritik Feyerabend terhadap pengagungan rasionalisme. Pada bagian akhir, penulis memberikan catatan kritis terhadap  pandangan ketiga tokoh tersebut.

II. Kemajuan Sains menurut Karl Popper
Bagi Popper, tujuan sains adalah untuk mencapai kebenaran.[1] Kebenaran yang ia maksud adalah kebenaran objektif. Objektivitas dan rasionalitas si ilmuwan menjadi ciri bagi perkembangan yang sifatnya saintifik. Karenanya, seorang ilmuwan harus membersihkan diri dari berbagai asumsi yang mempengaruhinya agar mampu sampai pada sains yang murni. Konteks pemikiran Popper ini adalah mengenai logic of discovery.[2] Popper ingin menjelaskan perkembangan sains dari titik pandang logis. Dengan kata lain, penelitian itu harus mengikuti proses yang logis, yakni  ada  hipotesis atau sistem-sistem teori, dan kemudian diuji melalui observasi dan percobaan, dan dihasilkanlah kesimpulan. Proses ini akan terus berputar-putar seperti itu.[3] Ketika ada “evidence” baru, kemudian melalui proses tersebut dihasilkanlah kesimpulan baru.  Dengan demikian, Popper begitu menekankan mengenai prosedur tentang bagaimana sains itu maju dan berkembang. Ia melihat perkembangan/pertumbuhan sains itu bukan karena accretion (akumulasi pengetahuan) tetapi karena penggulingan revolusioner terhadap sebuah teori yang sudah diterima dan kemudian digantikan dengan teori yang lebih baik.[4]  Proses yang jelas tampak adalah falsifikasi dimana dengan menunjuk satu kesalahan dalam sistem tersebut, maka kesalahan tersebut dapat menginfeksi seluruh system.[5]
Dengan demikian bagi  Popper, sains itu maju melalui prinsip falsifikasi (dapat dibuktikan salah). Melalui prinsip tersebut, ada dua macam kemungkinan yang dapat diperoleh. Yang pertama adalah bahwa dengan membuktikan bahwa suatu hipotesis itu salah, maka hipostesis itu ditinggalkan seluruhnya dan digantikan dengan hipotesis baru yang berhasil (benar sejauh belum dapat dibuktikan salah). Hipotesis yang dapat bertahan dan lolos dalam tes tersebut akan diterima sampai ditemukan pengujian yang lebih ketat. Kemungkinan yang kedua adalah bahwa apabila yang terbuktikan salah itu hanyalah salah satu unsur dari hipotesis tersebut sedangkan inti hipotesis dapat dipertahankan, maka unsur tadi ditinggalkan dan digantikan dengan unsur baru. Dengan demikian, hipotesis tersebut disempurnakan, meskipun tetap terbuka untuk dibuktikan salah.   Karenanya, sains itu maju melalui proses eliminasi yang semakin keras terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan.  Proyek sains adalah mengurangi kadar kesalahan sampai sejauh dan sebanyak mungkin sehingga makin mendekati kebenaran objektif.[6] Teori falsifikasi di sini berbicara bahwa suatu teori selalu memuat teori yang mampu mengugurkannya. Maka teori yang benar bukan teori yang bersih dari kemungkinan untuk digugurkan. [7] Inti dari pandangan  falsifikasinya tersebut dinyatakan oleh Popper  tentang “imu pengetahuan yang mempunyai tugas untuk mencari satu ekor angsa yang tidak berwarna putih terhadap pernyataan bahwa semua angsa berwarna putih.”[8]

III. Kritik Kuhn atas Popper dan Pandangan Kuhn tentang Kemajuan Sains
Kuhn mengkritik Popper atas konsep falsifikasinya. Terkait dengan falsifikasi, Popper memberi contoh tentang angsa putih. Dinyatakan bahwa semua angsa itu berwana putih. Lalu untuk menggugurkan pernyataan tersebut cukuplah dengan menunjukkan bahwa ada angsa yang tidak berwarna putih. Popper mengatakan bahwa dengan cara inilah ilmu pengetahuan berkembang maju, yakni apabila suatu hipotesa telah dibuktikan salah, maka hipotesa itu akan ditinggalkan dan digantikan oleh yang baru. Terhadap  contoh di atas Kuhn mulai mempertanyakan.  Darimana ia tahu bahwa angsa yang bukan putih itu adalah angsa? Apakah yang dianggap sebagai angsa yang bukan putih itu harus diteliti sedemikian rupa supaya dapat dikatakan bahwa itu adalah juga angsa? Apabila Popper menerima bahwa angsa yang bukan putih (misalnya burung berwarna hitam) itu adalah juga angsa maka hal berarti ada perubahan dalam teori kita. Dengan begitu,  Kuhn justru menunjukkan bahwa ada lompatan pada pemikiran Popper, dan jelas bahwa ada banyak hal-hal tidak bisa diterangkan dengan falsifikasi saja.
Selain itu, menurut Kuhn, pendekatan Popper pada ilmu pengetahuan telah menjungkirbalikkan kenyataan dengan terlebih dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis yang disusul dengan usaha falsifikasi. Padahal bagi Kuhn, sejarah ilmu pengetahuan bukanlah terjadi berdasarkan usaha empiris dalam membuktikan salah tidaknya, melainkan berdasarkan revolusi ilmiah.[9]
Revolusi ilmiah yang dimaksud Kuhn dapat digambarkan dalam beberapa tahapan sebagai berikut, yakni: tahap pra sains-sains normal-krisis-revolusi-sains normal baru-krisis baru.[10] Tahap  pra-sains ditandai dengan adanya ketidaksepakatan tentang dasar suatu teori. Oleh karena itu, kebanyakan kerja di dalam kegiatan sains tersebut tidak banyak gunanya. Sedangkan tahap sains normal ditandai dengan munculnya kegiatan untuk memecahkan teka-teki (puzzle solving) di bawah suatu paradigma tertentu.[11] Pada tahap ini, para saintis harus meyakini bahwa paradigma tersebut mampu memberikan sarana-sarana pemecahan teka-teki yang ada di dalamnya. Apabila si saintis tersebut gagal dalam memecahkan teka-teki itu, maka yang disalahkan adalah saintis itu sendiri dan bukannya paradigma yang dipakai.[12] Teka-teki yang tidak dapat dipecahkan oleh paradigma tersebut akan dipandang sebagai anomali. Tahap krisis dalam kepercayaan terhadap paradigma tersebut muncul ketika anomali-anomali yang terjadi semakin banyak dan serius. Serius dalam arti:[13] (1) anomali tersebut benar-benar menghantam pada sisi yang amat mendasar dari paradigma tersebut dan terus saja membuat buntu usaha-usaha yang dilakukan oleh para anggota dari komintas sains normal tersebut sehingga mereka terdorong untuk melepas paradigma tersebut. Di dalamnya, terdapat pula kritik ilmiah tentang asumsi dasar suatu paradigma karena begitu banyaknya anomali yang muncul.[14] (2) Terdapat perubahan dalam situasi sosial kultural yang mendesak supaya terjadi perubahan sesuatu paradigma.[15] (3) Tahap krisis tersebut makin serius lagi manakala telah muncul paradigma tandingan yang baru. Paradigma tandingan ini jelas sangat berbeda dengan paradigma yang lama.
Setelah tahap krisis, kemudian terjadi revolusi yakni perpindahan dari paradigma lama ke paradigma baru. Penjelasannya adalah sebagai berikut. Dalam tahap krisis, biasanya paradigma lama tetap dipertahankan oleh para saintis yang sudah tua. Paradigma baru dipertahankan oleh saintis yang muda. Mereka ini (yang mempertahankan paradigma lama dan yang mempertahankan paradigma baru) seperti berada dalam dunia yang berbeda, atau dengan kata lain antara paradigma lama dan paradigma baru itu bersifat “conceptually incommensurable”. Meskipun demikian, lama kelamaan paradigma lama akan semakin ditinggalkan karena kehilangan popularitasnya dan tidak mampu memikat ahli sains yang baru. Dengan demikian, paradigma baru menjadi dominan di antara komunitas ahli sains. Dalam hal ini, Kuhn membandingkan kemiripan antara revolusi saintifik dengan revolusi politis, yang mana kemenangan dari paradigma yang hendak dipakai itu kemudian lebih dipandang dari sisi menang secara persuasif.[16] Pengadaptasian terhadap paradigma baru itu semakin diperteguh dengan bertambahnya dukungan dari komunitas sains secara keseluruhan. Pengadaptasian tersebut mirip juga seperti orang yang berpindah/”bertobat” ke salah satu agama. 
Berdasarkan pemahaman di atas, dapat disimpulkan bahwa kriteria kemajuan sains itu (pemilihan paradigma mana yang lebih unggul) itu lebih bersifat psikologis dan sosial daripada rasional. Paradigma baru akan dipilih sekiranya paradigma itu lebih sederhana (simplicity) , ataupun karena adanya suatu kebutuhan sosial yang begitu menekan atau juga  karena kemampuan dalam semakin memecahkan banyak teka-teki. Dikatakan bersifat psikologis adalah juga karena bagi Kuhn  yang membuat sains itu maju adalah bukan karena falsifikasi Popper melainkan karena psikologi para saintis (ilmuwan) itu sendiri. Para saintis itu dipacu untuk membuat suatu terobosan baru dalam sains.  Dari mana mereka   membuat terobosan-terobosan? Bagi Kuhn, hal ini terletak pada dorongan psikologis si saintis tersebut.[17] Bagi para saintis, yang menjadi tujuan adalah solusi atas suatu teka-teki instrumental/konseptual yang sulit dan  keberhasilannya dalam usaha tersebut dihargai melalui pengakuan dari anggota-anggota lain dalam grup profesionalnya dan hanya oleh mereka saja. Sedangkan manfaat praktis dari solusinya hanyalah menjadi nomor dua. Dengan demikian, saintis itu sendiri ingin maju selain karena ada tuntutan profesi, mereka juga memandang bahwa  dorongan untuk membuat terobosan baru itulah yang menggerakkan mereka untuk menemukan teori baru. Dengan demikian, secara lugas Kuhn menyebut bahwa penjelasan akhir tentang bagaimana sains itu dapat maju haruslah ditempatkan dalam kerangka psikologi atau sosiologi.[18]

IV. Paul Feyerabend: dari Pendekatan Anarkistik sampai ‘Free Society’
            Paul Feyerabend memiliki pandangan yang menarik mengenai sains. Menurutnya, kemajuan sains tidak sama dengan kemajuan prinsip-prinsip rasionalitas maupun asas-asas obyektivitas sepeti yang ingin dicapai oleh Popper. Justru menurutnya, metode tidak akan memberikan kemajuan baik bagi sains maupun bagi peradaban manusia. Yang terjadi justru dengan metode tersebut, sains akan dipersempit dan diasingkan dari realitas manusia yang sesungguhnya.
Sains harusnya berjalan dengan prinsip anarkisme, yaitu anything goes. Anarkis yang dimaksud oleh Feyerabend adalah sikap terbuka pada setiap aspek: pandangan religius, pandangan lokal, aspek emosi peneliti, bahkan aspek humoris seorang peneliti. Anarkis profesional menolak segala bentuk pembatasan dan memperjuangkan kebebasan individu untuk berkembang secara merdeka. Pandangan anarkis ini dilatarbelakangi oleh argumen Feyerabend bahwa: (1) baik sejarah secara umum maupun sejarah revolusi selalu memiliki isi yang lebih kaya, lebih beragam, memiliki banyak sisi, lebih hidup dan lebih halus daripada yang dibayangkan oleh sejarahwan atau pakar metodologi terbaik manapun. Keberagamaan itu menunjukkan kompleksitas perubahan manusia dan betapa suatu tindakan atau putusan manusia itu sulit diprediksi[19]. (2) dunia ini merupakan entitas yang tak diketahui (unknown entity), oleh karena itu kita harus membuka segala kemungkinan untuk pendekatan terhadap dunia tersebut dan tidak menaruh batasan apapun. Tidak ada jaminan bahwa ketentuan-ketentuan epistemologis yang dahsyat adalah jalan terbaik untuk menyingkap hingga ke rahasia-rahasia alam yang terdalam[20]. (3) Praktek sains saat ini terjadi bertentangan dengan pandangan humanitarian, karena bertentangan dengan pengembangan individualitas, yang merupakan jalan satu-satunya untuk mencapai keberadaban[21].
Feyerabend melihat sains kini disakralkan, persis dengan kedudukan agama. Feyerabend melihat bahwa rasionalisme menjadi seperti agama. Agama memandang dirinya sebagai suatu kebenaran yang mutlak, yang dilengkapi dengan suatu sistem dan prakteknya sendiri.[22] Demikian pula dengan rasionalisme, yang sebenarnya juga berupa keyakinan akan daya rasio sebagai yang mutlak dalam proses memperoleh pengetahuan. Sains bukanlah sesuatu hal yang sakral, jika kita mencermati apa yang terjadi dalam sejarah. Sains sendiri hanya merupakan suatu hasil dari interaksi demi interaksi yang terjadi, antara tradisi non-rasional dengan tradisi rasional. Dalam interaksi itu, terdapat kebebasan dan kesukarelaan, kemauan untuk melihat kebutuhan dan bukan melulu pemaksaan. Oleh karena itu, dalam praktek sains sekarang ini, Feyerabend menyayangkan mengapa rasionalitas dalam sains dianggap sebagai suatu hal yang mutlak (di mana mau tidak mau setiap orang harus masuk di dalamnya) dan menganggap rendah tradisi-tradisi lokal, karena dianggap tidak rasional.
Ide mengenai metode yang telah terbakukan (fixed) atau teori rasionalitas yang telah terbakukan adalah naif, karena dengan demikian mengingkari integritas manusia dan keluasan dimensi alamiah di dalamnya, termasuk insting-insting, dan pengembaraan intelektual. Secara historis, perkembangan sains tidak berjalan secara kaku, yaitu hanya dengan menganut atau menjalankan prinsip yang kaku, tak tergantikan. Di dalam sains, terjadi banyak pelanggaran metodik yang justru membawa pada perkembangan. Hal ini diakui oleh Feyerabend sebagai suatu hal yang niscaya mutlak terjadi demi perkembangan pengetahuan.
Prinsip anarkisme itu menjadi penentu kemajuan, karena dari situ terdapat keterbukaan manusia terhadap nilai-nilai yang dirasakan penting. Dalam kegiatan penelitian apapun, harus berlaku hukum obyektivitas dan partisipatif; dan asas kerjanya dilakukan secara merdeka dengan berorientasi pada pragmatisme.
Feyerabend melihat ke depan, bahwa upaya pragmatisme dan anarkisme itu haruslah membentuk suatu masyarakat yang merdeka (free society), yang sepenuhnya mau bersikap toleran dan mengakui kebebasan tiap-tiap individu. Dalam free society, harus ada suatu tanggapan yang baik dan ramah terhadap setiap tradisi atau pandangan baru yang ditawarkan. Masyarakat yang merdeka adalah yang tradisi-tradisi di dalamnya memberikan persamaan hak, persamaan akses terhadap pendidikan dan posisi-posisi kekuasaan. 
Secara garis besar, upaya dan pemikiran Feyerabend merupakan sebuah upaya untuk mendudukkan sains dalam konteks historis, seperti yang ada dalam pertimbangan Thomas Kuhn. Meski terkesan keras, pandangan Feyerabend tidak berarti menumbangkan aktivitas sains, justru dengan itu, Feyerabend memperlihatkan aspek kemajuan yang harus diperjuangkan oleh sains.

V. Tanggapan Kritis
            Konteks Popper dalam memunculkan prinsip falsifikasi dalam epistemologinya sebetulnya bermaksud untuk membebaskan ilmu pengetahuan dari kecenderungan untuk bersifat ideologis. Baginya, hal-hal yang bersifat ideologis selalu mengarah pada penindasan. Dengan adanya penindasan, kebebasan berpikir orang menjadi terbelenggu.
            Mencermati pandangan Kuhn dan Feyerabend di atas, tampak bahwa arah yang dituju adalah untuk tidak terlalu memposisikan sisi rasionalitas di atas segala-galanya. Seolah-olah kemajuan ilmu itu tergantung dan diukur dari aspek rasionalitasnya. Kuhn dan Feyerabend memberikan pandangan alternatif. Karenanya upaya Kuhn yang pertama-tama hendak melihat ilmu sebagai kegiatan manusia mau tak mau merupakan pendobrakan terhadap pandangan yang lebih menempatkann segi rasionalitas kegiatan berilmu itu. Namun anggapan Kuhn yang menekankan aspek non-rasional dan subjektif itu bukan berarti ingin meniadakan rasionalitas. Yang ditolak oleh Kuhn adalah rasionalitas yang sui-generis, yang seolah-olah tidak tergantung pada suatu apapun di luar dirinya. Pandangan Kuhn yang juga bersifat sosiologis ini dimaksudkan untuk membantu kita untuk  melihat kegiatan keilmuan secara lebih luas. Dalam arti bahwa, kegiatan keilmuan tersebut tidak tergantung semata-mata dari penekanan rasionalitas dan objektivitas si ilmuwan tetapi tergantung juga pada pengaruh komunitas ilmiah dan kondisi yang ada pada waktu itu. Sebetulnya mirip dengan Popper, baik Kuhn maupun Feyerabend ingin memerangi kencenderungan ideologis baik dalam  pandangan positivisme maupun rasionalisme.

VI. Penutup
            Dari uraian di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa baik dimensi rasionalitas maupun dimensi yang lain (psikologis, sosiologis, kultural)  memainkan peranan yang penting dalam perkembangan sains. Untuk memahami sains memanglah dibutuhkan pengujian-pengujian yang tidak lepas dari unsur rasionalitas dan objektivitasnya. Meskipun demikian, dimensi-dimensi yang lain juga tidaklah dapat diabaikan. Sebagaimana yang dinyatakan Feyerabend bahwa janganlah sampai  dimensi rasionalitas tersebut begitu disakralkan sehingga menyingkirkan aspek-aspek lain yang dipandang tidak rasional. Karenanya yang memang perlu dihindari adalah rasionalitas yang sui-generis, yang mencukupkan diri (rasionalitas) dan tidak perlu tergantung pada sesuatu di luar dirinya. Penekanan yang terlalu esktrem ini dapat menggiring orang pada hal-hal yang bersifat ideologis.


[1] W. H. Newton-Smith, The Rationality of Science, London: Routledge, 1981, page. 44.
[2] Karl Popper, “The Rationality of Scientific Revolution”, Scientific Revolutions (Ed: Ian Hacking Hacking), New York: Oxford, 1981, page. 82.
[3] Thomas S. Kuhn, “Logic of Discovery or Psychology of Research?”, The Essential Tension: Selected Studies in Scientific Tradition and Change, Chicago: The University of Chicago Press, 1977,  page. 270.
[4] Thomas S. Kuhn, Ibid., page. 271.
[5] Thomas S. Kuhn, Ibid., page. 280.
[6] C. Verhaak & R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gramedia, 1995, hal. 160.
[7] W. H. Newton-Smith, Op.cit., page.  44.
[8] In Nugroho Budisantoso, “Prinsip Falsifikasi Popper” dalam Driyarkara edisi 2000, Jakarta: STF Driyarkara, hal. 33.
[9] In Nugroho Budisantoso, Ibid., hal. 36.
[10] A.F. Chalmers, What is This Thing Called Science?, Milton Keynes: The Open University Press, 1978, page. 90.
[11] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago : The University of Chicago Press, 1970, page. 35.
[12] A.F. Chalmers, Ibid., page. 92.
[13] A.F. Chalmers, Ibid., Milton Keynes: The Open University Press, 1978, page. 93-95.
[14] Contohnya adalah tentang kaitan antara konsep aether dengan gerak bumi dalam teori Maxwell. Aether itu dipostulatkan Maxwell untuk menjelaskan gerak gelombang elektromagnet (seperti cahaya dan sinar-X). Aether itu dimengerti sebagai sesuatu yang tidak ada massa atau warna dan  tidak bisa ditemukan secara kimia atau fisik. Teori ini menemukan rintangan utama dalam eksperimen oleh Michelson-Morley (1881) yang dibuat khas untuk menyelidiki kecepatan bumi dalam kaitan dengan aether. Hasil penelitian ini harusnya menunjukkan perubahan dalam kecepatan cahaya tetapi menunjukkan bahawa kecepatan cahaya dalam aether itu tidak berubah dalam situasi apapun. Pada tahun 1905, konsep aether itu ditinggalkan ketika Albert Einstein membuat hipotesa bahwa kecepatan cahaya dan semua gelombang elektromagnet adalah tetap (universal constant). Hipotesa Einstein ini diterima mayoritas komunitas ahli sains hingga hari ini. (lihat  tulisan Mark Aloysius dengan judul Peran Paradigma dan Komunitas Ahli Sains dalam Kegiatan Sains menurut Thomas Kuhn,  STF Driyarkara, 2005)
[15] Contoh dari dorongan kebutuhan sosial tersebut adalah sebagai berikut. Ketika muncul system kalender yang baru menurut teori Copernicus, masyarakat kemudian tergerak untuk meninggalkan system penghitungan astronomi Ptolomeus yang sebelumnya dipakai. Teori Copernicus itu lebih dipakai karena lebih sederhana (simplictiy). daripada
[16] A.F. Chalmers, Op.cit., page. 97.
[17] Thomas S. Kuhn, Op.cit., page. 291.
[18] Thomas S. Kuhn, Ibid., page. 290.
[19] Paul Feyerabend, Against Method, London: Verso, 1993, page. 10-11. Feyerabend memberikan sebuah contoh, berupa pengakuan Einstein tentang the external conditions, yaitu kondisi eksternal yang ‘are set for (the scientist) by the facts of experience do not permit him to let himself too much restricted, in the construction of his conceptual world, by adherence to an epistemological system. Dalam bidang social, dia menunjukkan pula bagaimana Vladimir Lenin juga mengajak semua orang untuk siap berganti dari satu konsep ke konsep yang lain, demi revolusi.
[20] Paul Feyerabend, ibid, page. 12. ‘Epistemological prescriptions may look splendid when compared with other epistemological prescriptions, or with general principles – but who can guarantee that they are the best way to discover, not just a few isolated “facts”, but also some deep-lying secrets of nature?’
[21] Paul Feyerabend, ibid., page. 12 Dengan ini, dia mencontohkannya dengan kaki-kaki gadis-gadis China yang dipakaikan sepatu yang sangat sempit.
[22] Paul Feyerabend, ibid., page. 235. Menurut Feyerabend, agama dapat menjadi suatu sistem yang demikian, karena agama mengembangkan diri sebagai suatu wilayah di luar tradisi, jadi meski tradisi terus berkembang, terus berubah, tidak demikian yang terjadi dengan agama. Dalam wilayah tersendiri itu, agama memerikan segala hal secara detail, metode juga prakteknya.

Monday, April 16, 2007

Realisme Saintifik dan Filsafat Sains Kontemporer


I.
Ketegangan di dalam Filsafat sains

Perkembangan filsafat sains selama berabad-abad telah didominasi oleh asumsi fundamental dari pandangan positivis terhadap dunia. Pandangan ini menyatakan bahwa sains adalah monistik dalam perkembangannya dan deduktif di dalam strukturnya. Monistik di dalam perkembangannya, maksudnya bahwa pandangan positivistik berusaha menjelaskan dunia dalam satu kerangka berfikir, yaitu menganggap bahwa hanya ada satu teori yang mampu menjelaskan tentang dunia. Monistik juga berarti bahwa hanya ada satu penjelasan mengenai segalanya. Perkembangan sains adalah terus bertambah, yaitu teori terus dilengkapi. Sains dimengerti memiliki struktur yang deduktif maksudnya adalah bahwa sains itu berkembang terus maju dan tiap teori mengandaikan teori sebelumnya. Cara pandang ini sekarang tidak bertahan lagi. Perkembangan jaman dan pemikiran telah menunjukkan bahwa cara pandang itu telah tidak mampu menjelaskan sains kontemporer. Ada banyak aspek yang kini dilihat dan semakin dipandang mampu menjelaskan dan nampak bertentangan dengan pandangan sains positivis. Akan tetapi pandangan-pandangan inipun tidak bersih dari sanggahan.

Pertama adalah pandangan yang cenderung anti-monistik. Ada banyak tokoh yang dapat dimasukkan dalam kelompok ini berdasarkan karya-karya mereka, antara lain Bachelard, Popper, Kuhn, Lakatos, Feyerabend, dan masih ada beberapa tokoh yang lain. Kebanyakan dalam karya dari filsuf-filsuf ini nampak suatu tegangan antara realisme dan relativisme (ontologi dan epistemologi).[1] Kita dapat melihat bahwa mereka (filsuf dalam pandangan ini) menghadapi kesulitan dalam menjelaskan penekanan mereka pada sains yang nampaknya berkembang maju tetapi juga ada diskontinuitas. Sains berkembang sekaligus juga berubah.

Masalah yang cukup paralel juga dihadapi oleh pandangan anti-deduktivis. Beberapa tokoh yang karyanya masuk dalam pandangan ini adalah Kneale, Waismann, Hanson, Scriven, Polanyi, Toulmin, Hesse dan Harre. Para filsuf ini bereaksi terhadap standar Humean dan penjelasan Positivis mengenai sains. Pandangan ini menyatakan bahwa tidak adanya dasar bagi pernyataan yang memisahan antara sesuatu yang seharusnya (menurut suatu hukum tertentu) dan sesuatu yang hanya kejadian yang kebetulan berurutan. Hume menyatakan bahwa kita hanya dapat mengetahui sesuatu yang kita alami selebihnya kita tak dapat mengetahuinya[2]. Misalnya megenai jatuhnya sebuah bola yang dilepaskan ke tanah. Menurutnya tidak ada hukum kausal yang memastikan bahwa bila bola dilepaskan pasti akan jatuh ke tanah, hanya kita telah mengalaminya sebelumnya secara berulang-ulang bahwa setelah bola dilepaskan lalu jatuh ke tanah. Pandangan anti deduktif menyatakan bahwa pandangan seperti yang dikatakan Hume ini tidak memiliki dasar, seperti mengaharapkan air yang dipanaskan akan membeku.

Meskipun begitu posisi anti deduktif memiliki kekurangan juga dalam dirinya. Kelemahan itu adalah sebuah antinomi[3] antara fungsi kognitif pengantinya dan klaim epistemiknya, yaitu sebuah kesenjangan antara analisis filosofis dan objek yang diharapkannya serta sebuah kerenggangan antara prinsip-prinsip epistemologis dan syarat-syarat ontologis. Secara umum penulis dalam tradisi ini kurang mampu menyatukan aktivitas mensintesis dan aspek praktis pergumulan sains dengan alam. Menurut Bhaskar pemikiran dalam filsafat sains kontemporer membutuhkan suatu ontologi baru untuk mengakomodasinya.

Bab ini berusaha untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana sebuah ontologi baru harus dikembangkan. Hal ini perlu untuk mengakomodasi keuntungan dari pemikiran anti-monistik dan anti-deduktif. Juga harus dibentuk sebuah pertimbangan sains yang baru, sebuah pertimbangan baru yang berusaha untuk meradikalkan revolusi kopernikan[4] tentang posisi manusia di dalam alam. Bab ini juga berusaha menyiapkan dasar bagi penjelasan bab selanjutnya mengenai penelitian saintifik sosial.

II. Ajakan kepada realisme

Bila dipandang secara luas maka ada banyak posisi filosofis yang dapat dimasukkan sebagai realis, yaitu yang menyatakan keberadaan beberapa entitas, misalnya: universal, objek material, hukum kausal, probabilitas, proposisi, dll. Bhaskar menyatakan ada tiga tipe realisme yang cukup signifikan di dalam sejarah filsafat[5]: Predicative realism, yang menyatakan keberadaan yang universal secara mandiri atau sebagai property dari hal material partikular; Perceptual realism, yang menekankan keberadaan objek material di dalam ruang dan waktu secara mandiri dari persepsi manusia; Scientific realism, yang menekankan keberadaan objek penelitian saintifik secara mutlak dan mandiri dari semua aktivitas manusia.

Bhaskar menganjurkan kepada pembaca untuk mengutamakan realisme saintifik. Hal ini berarti bahwa ia mereduksi realisme predikatif dan perseptual ke dalam realisme saintifik, bila objek pengetahuan saintifik memang demikian. Baginya realisme saintifik adalah teori bahwa objek-objek pengetahuan saintifik ada dan bertindak cukup mandiri dari ilmuwan dan aktivitas mereka. Posisi Bhaskar tersebut memberikan dasar bagi jawaban atas pertanyaan mengenai apakah sains alam itu realis. Pertanyaan tersebut kemudian mampu ditempatkan secara empiris yaitu apakah term-term teoretis yang mereka usahakan memiliki referensi real yang mandiri terlepas dari yang mereka teorikan.

Posisi diatas membawa pada pertanyaan realisme metafisis, yaitu mempertanyakan bagaimankah dunia seharusnya supaya penelitian empiris dan setiap tindakan saintifik menjadi mungkin. Realisme metafisis ini tergantung pada praktek filsafat sains, hal ini juga ingin mengatakan tentang perbedaannya dengan realisme internal. Realisme disini bukanlah sebuah teori tentang pengetahuan atau kebenaran melainkan sebuah teori tentang “yang ada” (being). Meskipun begitu realisme tidak terlepas dari implikasi epistemologis. Teori tentang yang ada tidak akan terlepas dari implikasinya untuk membentuk sebuah teori tentang pengetahuan. Berdasarkan hal itu, posisi realis di dalam filsafat sains berisi teori tentang kealamiahan “yang ada” pada objek penelitian sains. Posisi realis ini menyatakan bahwa “yang ada” bertahan dan bertindak secara mandiri dari aktivitas manusia, yaitu pengalaman inderawi dan pikiran. Dengan demikian realisme juga menentang empirisme dan rasionalisme, dengan menyatakan bahwa “yang ada” itu berbeda dari pengalaman dan pikiran manusia. “Yang ada” berbeda dari atribut[6] manusia.

Adalah sebuah “epistemic fallacy[7] bila menganalisa “yang ada” dalam kerangka pengetahuan. Hal ini menjelaskan bahwa tidaklah proporsional bila kita mereduksi pernyataan tentang “yang ada” ke dalam pernyataan tentang pengetahuan. Pandangan ini menurut Bhaskar hanya memperhatikan hubungan-hubungan yang ada tanpa masuk ke dalam maksud yang ingin dijelaskan oleh hubungan-hubungan itu. Inilah kesalahan epistemik yang ada dalam doktrin post-humean. Maka dari itulah realisme saintifik ingin melepaskan diri dari kesalahan epistemik itu (epistemic fallacy).

Realisme saintifik ingin menegaskan bahwa setiap teori pengetahuan mensyaratkan sebuah teori tentang dunia. Teori yang menyatakan seperti apakah seharusnya dunia agar pengetahuan menjadi mungkin. Sebuah dunia yang memungkinkan pengetahuan. Dari sini dapat dikatakan bahwa setiap pandangan dalam filsafat yang membahas sains secara esensial memiliki realisme, hanya saja dalam bentuk dan kadar yang berbeda. Kita dapat melihat dalam dua aliran besar dalam filsafat sains yaitu empirisme klasik dan idealisme transendental. Keduanya mensyaratkan sebuah realisme empiris secara implisit, yaitu mendasarkan pembedaan objek real penelitian saintifik dalam kerangka pengalaman aktual. Demikian pula posisi super-idealist merahasiakan sebuah realisme konseptual subjektif yang implisit, yaitu berdasarkan padanya objek real dilihat sebagai hasil dari pikiran.[8] Ontologi dari pandangan-pandangan itu memang implisit tetapi pandangan itu secara eksplisit antropomorpik, yaitu bahwa masih menggunakan ukuran manusia untuk melihat objek penelitian saintifik. Dari berbagai realisme itu, Bhaskar menegaskan bahwa, hanya realisme yang selaras dengan realisme saintifik (realisme transendental) yang dapat mempertahankan dan menampilkan kemampuan bagi sains agar mampu dimengerti.

Realisme transendental yang ditawarkan oleh Bhaskar ini juga menentang berbagai bentuk irrealisme[9], yaitu menentang realisme non-imanen atau transenden. Realisme transenden disini dinyatakan sebagai sesuatu yang tak terakses, yaitu sebagaimana Kant menyebutnya wilayah noumena. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa irrealisme mensyaratkan kebalikannya yaitu sesuatu yang terakses, yaitu bahwa irrealism mensyaratkan dari dirinya sendiri elemen realis transendental. Sebab realisme transendental dimengerti sebagai yang berisi ide bahwa pengetahuan tentang objek itu adalah mungkin dan secara contingent diaktualkan dalam sejarah. Akan tetapi keduanya (pengetahuan dan objek) tidak dapat saling diidentifikasikan.

III. Realisme Transendental

Metafisika klasik telah berusaha untuk membangun suatu pengertian mengenai realitas. Metafisika ini menyibukan diri untuk mencari dasar dan pengertian mengenai keberadaan realitas (“yang ada”). Ada monisme yang mengajukan argumen bahwa alam semesta ini adalah tunggal, seperti yang dinyatakan oleh Spinoza. Ada lagi yang menyatakan bahwa realitas itu banyak (plural) seperti halnya monadologi yang dinyatakan oleh Leibniz. Selain itu metafisika juga mencoba menjelaskan modus serta relasi tentang keberadaan realitas itu. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan antara lain: Apakah ruang dan waktu itu real? Manakah yang real, yang terbatas atau yang tak terbatas? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu dicoba dijawab dalam metafisika klasik. Pertanyaan mengenai bagaimanakah metafisika sains, secara lebih khusus mengenai realisme transendental, akan dicoba dijelaskan pada bagian ini.

Term Transendental yang digunakan oleh Bhaskar disini memiliki kesamaan makna dengan istilah Transendental yang digunakan oleh Kant. Kant memprakarsai dua program metafisika[10], yaitu metafiska yang imanen secara murni (inilah yang dalam termnya disebut sebagai transendental), dan metafisika yang hanya deskriptif. Kant kemudian mengubah pandangannya tentang ketertutupan alam pada “ada pada dirinya sendiri” dari proyek pencarian persyaratan pengetahuan kita mengenai “yang ada”. Kemudian ia, dalam doktrinya mengenai Idealisme Transendental, mengenali “yang ada” dengan penjelasan struktur konseptual yang dalamnya setiap pengetahuan “yang ada” harus difikirkan. Dari kedua hal yang dinyatakan oleh Kant, Bhaskar ingin membuat suatu pemisahan secara konseptual.

Bagi Bhaskar filsafat hanya mungkin bila berhubungan dengan sebuah praktek atau objek di luar dirinya[11]. Dari sini kita dapat mengatakan bahwa idealisme Kantian gugur karena tak mampu mendukung praktiknya sendiri mendasarkan pengetahuan pada sebuah fiksi, yaitu permainan kata dari pendiriannya sendiri. Bagi Bhaskar, tak ada filsafat secara umum, tetapi hanya ada filsafat secara partikular. Karena filsafat selalu berhubungan dengan konteks, yaitu tergantung pada sejarah dan bentukan sosial. Oleh karena itu filsafat memiliki kondisi supaya aktivitas pengalaman menjadi mungkin, yaitu dunia harus terbuka dan terstruktur. Filsafat tidak dapat mengantisipasi struktur dunia seperti apa, akan tetapi masih selalu menyisakan permasalahan untuk diteliti. Filsafat tidak pernah bebas dari sanggahan, oleh karenanya posisi dalam filsafat selalu open-ended[12].

Filsafat memiliki dua aspek dalam penelitian kesadaran atau pola proses refleksi diri dari pikiran. Disebut pertama adalah aspek intrinsik (normatif) (IA) dan aspek ekstrinsik (penyebab/historis) (EA). Kesadaran dalam IA dikenali dengan kecenderungan untuk menilai (judgementally), dan perhatiannya adalah pada masalah validitas. Dalam EA kesadaran dikenali dengan sifat historis, dan memiliki perhatian pada pertanyaan mengenai kredibilitas. Kedua aspek ini meskipun secara epistemologis relevan, tetapi bukan hanya sekedar cara memahami kesadaran, akan tetapi inilah pemahaman akan kesadaran itu sendiri. Selain itu perlulah ditegaskan bahwa adanya karakter praktis dan yang terkondisikan secara praktis, yaitu bahwa filsafat memiliki titik pijak nilai-nilai pada yang ada di luar filsafat. Hal ini ingin menyatakan bahwa filsafat tertarik pada isu yang spesifik. Titik pijak itu perlu ada secara logis, biografis, dan historis, karena filsafat memerlukan dasar yang lebih luas, tidak hanya filsafat itu sendiri.

Demikian filsafat sains memerlukan juga metafisika sebagai dasarnya. Seperti halnya Kant, Bhaskar juga menyebutkan dua macam metafisika. Pertama adalah metafisika imanen[13]. Kedua adalah yang diturunkan dari program kedua Kant, yaitu metafisika deskriptif[14]. Metafisika deskriptif lebih mengambil aspek kognitif sains, berbeda dengan metafisika imanen yang mengambil syarat-syarat praktis. Penjelasan mengenai metafisika ini ditekankan karena ini adalah salah satu syarat kememadaian penjelasan sains.

Bhaskar menjelaskan lagi bahwa sains yang memadai akan berhubungan dengan argumen-argumen ontologi, epistemologi, metafisika secara umum, sosiologi pengetahuan historis yang substantif. Dari beberapa level itu bila terjadi pereduksian yang satu terhadap yang lain maka akan masuk ke dalam suatu kesalahan. Pereduksian “yang ada” kepada pengetahuan (ontologi ke epistemologi) disebut sebagai epistemic fallacy. Bhaskar menyebutkan bahwa ini terjadi secara dalam dan panjang serta menstruktur tradisi filsafat sampai saat ini[15]. Kebalikan dari ini adalah ontic fallacy. Selain itu juga ada pereduksian sains kepada filsafat, yang secara umum masuk dalam pemikiran idealisme absolut. Kesalahan ini disebut sebagai speculative illusion. Kebalikan dari ini adalah positivistic illusion, yang secara umum ada dalam wilayah pemikiran positivis.

Perbedaan antara ontologi dan epistemologi ini mengimplikasikan apa yang telah dinyatakan oleh Bhaskar sebagai dimensi transitive dan dimensi intransitive di dalam filsafat sains[16]. Dalam diagram 2.1. berikut akan nampak hubungan antara dimensi Intransitif (realitas intransitif), Dimensi Transitif (Proses Transitif), dan aspek intrinsik (intrinsik feature). Dari diagram situasi kognitif di dalam sains dapat juga dinyatakan bahwa realisme transendental mensyaratkan perlunya realisme ontologis, aktualitas relativitas epistemik, dan kemungkinan rasionalitas yang cenderung untuk menilai. Selain dua dimensi (transitif dan intransitif), filsafat sains juga memerlukan dimensi metakritis dimana syarat-syarat filosofis dan sosiologis dari penjelasan sains didekati secara lebih kritis. Dari diagram 2.1 dapan dijelaskan: intransitive reality (realitas intransitif) adalah realitas an sich (ada pada dirinya), ini adalah realitas yang ada di sana secara mandiri lepas dari tindakan ilmuwan. Realitas ini dicoba untuk diketahui dalam proses sains. Para ilmuan dengan proses transitif[17] (transitive process), yaitu proses yang dilakukan oleh ilmuwan, bersifat transitif karena dipengaruhi oleh usaha ilmuwan. Mengenai kebenaran dari suatu pengetahuan yang diterima oleh ilmuwan, hal ini tergantung pula pada hal-intrinsik yang dalam diri ilmuwan. Hal-hal intrinsik (intrinsic feature) ini mempengaruhi ilmuwan dari dalam yang terbentuk dalam proses ilmuwan mengetahui, yaitu sejarah, sosial, psikologis, dan sebagainya.

Diagram 2.1[18]: Situasi Kognitif di dalam Sains

IV. Hubungan Praksis dan Ontologi

Dikatakan oleh Bhaskar bahwa, dalam penjelasannnya mengenai realisme transendental, tidak ada pengetahuan tanpa aktivitas sosial sains.[19] Meski begitu penjelasan sains dari realisme transendental tidak ingin jatuh pada apa yang dijelaskan dalam realisme empiris. Karena seperti telah dijelaskan bahwa realisme empiris jatuh pada epistemic fallacy. Maka dalam bagian berikut ini akan dijelaskan mengenai hukum kausal dan pola-pola kejadian (patterns of events). Sebelumnya telah dijelaskan bahwa realisme empiris (sebagaimana penjelasan empirisme klasik terhadap sains) telah ditolak oleh pandangan realisme transendental. Pembedaan antara hukum kausal dan pola kejadian ini perlu untuk menjelaskan perlunya ontologi dalam penjelasan sains. Pembedaan ini juga ingin mengatakan bahwa tidak cukuplah menjelaskan hukum kausal hanya dengan melihat hubungan-hubungan konstan.

Pertama, hubungan konstan (constant conjunctions) itu tergantung pada praksis. Praksis ini dapat kita lihat sebagai apa yang dilakukan oleh para ilmuwan di dalam laboratorium. Apa yang mereka temukan di sana bukanlah hukum kausal melainkan dasar empiris bagi hukum itu. Selain itu hubungan konstan itu hanya bersifat empiris, yaitu bahwa mendasarkan pada fenomena yang dialami. Ini kurang memadai karena bila pengambilan kesimpulan masih mendasarkan pada keadaan di open systems[20] maka akan jatuh kepada beberapa keberatan. Pertama bahwa kurang adanya dukungan empiris dan transendental. Juga bahwa tempat dimana justifikasi terjadi tidak dapat menjamin berlakunya dalam kondisi-kondisi tertentu. Kedua, kesimpulan ini tidak memiliki tujuan praktis. Dapat dinyatakan bahwa hubungan konstan tidak berlaku secara universal. Ketiga, hubungan-hubungan konstan tidak dapat diterapkan dalam opened system, karena hanya mendasarkan pada kejadian-kejadian. Berbeda dengan pengetahuan dari hukum kausal yang berusaha mengungkapkan kecenderungan mekanisme-mekanisme lebih dari pada sekedar memberikan jaminan pada kejadian. Untuk itulah pengetahuan tentang hukum kausal lebih berguna dalam praktek.

Pembedaan diatas menegaskan sebuah keterpisahan antara hukum kausal dengan pola-pola kejadian. Hukum itu dianalisis sebagai kecenderungan mekanisme. Hukum mungkin dimiliki tetapi tak teralami, teralami tetapi tak disadari, disadari tetapi tak tertangkap oleh sains[21]. Penjelasan ini mensyaratkan bahwa mekanisme itu ada dan berlaku mandiri terlepas dari pengenalan, pengetahuan dan penggunaannya oleh sains.

Pengenalan dan penerimaan doktrin mengenai hukum kausal ini kemudian menjadi dasar pembedaan filsafat sains dalam tiga tradisi yaitu empirisme, idealisme transendental, dan realisme transendental. Ketiga tradisi filsafat itu memiliki asumsi dan kritiknya terhadap yang lain. Empirisme, yang secara garis besar nampak dalam karya Hume, memiliki dua garis asumsi: reductionist epistemology[22], yang berprinsip bahwa semua pengetahuan harus diturunkan dan dijustifikasi dari dan oleh pengalaman inderawi saja, ini kemudian dipertanyakan oleh Kant; dan empiricist ontology, yang terwujud dalam pandangan bahwa objek pengalaman inderawi itu kejadian atomistik yang saling terikat secara konstan dalam cara yang terbatas. Yang kedua ini secara implisit disyaratkan oleh Kant tapi kemudian dipertanyakan oleh realisme saintifik.

Kritik Kantian terhadap yang digariskan oleh Humean ada tiga poin: kekurangan, yaitu dalam invariance empiris memerlukan tambahan kriteria bagi pengenalan hukum; kerapuhan, ketidak mampuan bertahan berhadapan dengan teori yang bertentangan; ketumpulan, yaitu tidak menghasilkan dasar rasional bagi perkembangan saintifik. Demikian kritik realis transendental terhadap kritik Kant memiliki penekanan yang sama. Pertama kekurangan idealis transendental, yaitu bahwa masih saja belum memberikan dasar bagi syarat-syarat alami. Ia hanya berbicara tentang pernyataan yang tak terelakkan secara hukum, tetapi tidak berbicara tentang keteraturan, kecenderungan, kekuatan yang tak terelakkan. Selain itu ada kelemahan juga di dalam idealisme transendental, yaitu tidak dibicarakkannya adanya mekanisme generatif. Dengan tak adanya mekanisme generatif sebagai dimensi intransitif dalam pembicaraan sains, maka tak ada jalan masuk kepada dunia. Dapat dikatakan bahwa sains tidak membicarakan apa-apa. Dikatakan bahwa pembicaraan itu haruslah berdasar dan mampu diteliti. Ditegaskan oleh Bhaskar bahwa “tak ada dimensi transitif tanpa dimensi intransitif”[23]. Kemudian Bhaskar memberikan kritik terhadap Kant tentang pengetahuan yang dibangunnnya. Dalam kerangka penerapannya dalam sains praktis, idealisme dilihat memiliki karakter dinamis yang tidak mencukupi. Penjelasan Kant mengenai mekanisme alam hanya mengatakan bahwa mekanisme itu ada, tetapi tidak mengatakan bahwa mekanisme itu bertindak juga secara mandiri dari kondisi sosial.

Dari penjelasan nampaklah bahwa tradisi[24] yang dominan di dalam sains menerima keaktualan hukum kausal. Berdasarkan kategori pengalaman, ada tiga wilayah realitas (empiris, aktual, real). Berdasarkan penjelasan ketiga tradisi saintifik mengenai mekanisme generatif ada tiga model formula yang mampu menggambarkan penjelasan mereka. Empirisme nampak memiliki formula Dr = Da = De[25]. Skema itu menjelaskan pereduksian yang real kepada pengalaman empiris. Idealisme transendental memiliki formula Dr > Da > De. Situasi ini menggambarkan ketidakmampuan direduksikan secara ontologis wilayah realitas itu, juga adanya kerenggangan konseptual dan saling terlepasnya objek-objeknya. Sedangkan realisme transendental digambarkan sebagai Dr ≥ Da ≥ De. Dari formula ini dapat disimpulkan mengenai kemungkinan mengetahui yang real dengan mempelajari yang empiris. Dari ketiga penjelasan itu dapat juga disimpulkan bahwa empirisme klasik memandang “hubungan konstan kejadian-kejadian” (constant conjunction of events) adalah perlu dan memadai bagi hukum. Idealisme trandsendental hanya menerimanya sebagai yang perlu tetapi tidak memadai. Sedangkan realisme transendental menganggapnya tidak perlu dan tidak memadai bagi hukum.[26] Karena

V. Epistemologi dalam sains

Ada berbagai fenomena yang mewarnai perkembangan filsafat, diantaranya fenomena mengenai perbedaan dan relasi antara subjek dan objek, manusia dan alam semesta, pikiran dan benda, dan sebaginya. Fenomena-fenomena itu sedikit banyak memberikan kegelisahan yang ingin terus dicari penyelesaianya. Demikian di dalam antroporealisme[27] ada pasangan antara pengetahuan dan “yang ada”, serta kesadaran sosial dan fenomena alam, yang kemudian bergabung dalam konsep mengenai dunia empiris dan dunia rasional. Dalam bagian ini akan dijelaskan aspek konseptual dalam usaha saintifik.

Adanya kesadaran mengenai pemikiran empirisme dan idealisme tentang pengetahuan tidaklah mencukupi bila diambil salah satu atau pun tak mungkinlah beberapa kombinasi dari keduanya. Oleh karenanya sangatlah perlu menjelaskan perbedaan antara objek transitif dan intransitif dari sains[28]. Bila kita lihat lebih mendalam, dimensi intransitif adalah sebuah kondisi untuk mampu dimengertinya perubahan saintifik. Sedangkan perlunya dimensi transitif adalah sebagai konsekwensi dari perkembangan realisme ontologis. Dengan demikian satu dari dimensi-dimensi itu tak dapat dihilangkan. Bila hanya ada objek intransitif yang berada di luar dan mandiri lepas dari yang lain, bagaimana pengetahuan kita mengacu kepadanya. Akan tetapi tanpa dimensi intransitif maka pengetahuan hanya manifestasi dari pikiran. Demikian juga perubahan saintifik dan perubagan ontologis secara umum berada dalam bangunan perbedaan dimensi transitif dan intransitif. Perubahan saintifik adalah tidak mungkin dan perubahan ontic2[29] tak dapat dilaporkan, kecuali pengetahuan dan objeknya memiliki “yang ada” dan sejarah secara terpilah-pilah. Dengan ketaktereduksian kedua dimensi saintifik ke satu sama lain maka hal ini dapat mendukung apa yang dikatakan Kuhn bahwa “meskipun dunia tidak berubah karena perubahan paradigma, akan tetapi ilmuwan masuk ke dalam dunia yang berbeda”[30]. Dengan demikian penelitian ilmiah ada dalam proses sosial, ilmuwan yang melakukan penenelitian berada dan dipengaruhi oleh sosialisasinya. Maka tidaklah tersangkal bahwa sains dikatakan sebagai sebuah proses transformasi, karena perubahan itu mungkin di dalam sains dan perubahan itu membawa perubahan bagi ilmuwan yang ada dalam sains.

Sains juga memiliki proyek untuk menjelaskan (proyek penjelasan). Penjelasan dalam hal ini dapat dimengerti sebagai proses membuat sesuatu mampu dimengerti. Berbicara mengenai penjelasan (explanation), teori modern tentang penjelasan dapat dibagi ke dalam tiga hal: deduktivis, kontekstualis, dan realis. Deduktivis menyatakan bahwa mampu menjelaskan sebuah kejadian berarti mampu mendeduksinya dari sebuah pernyataan dari kondisi sebelumnya dan yang melingkupinya serta dari hukum-hukum universal[31]. Untuk menjelaskan suatu fenomena dalam kerangka deduktif, berarti menurunkan suatu penjelasan dari kondisi yang telah diketahui, dari hukum yang telah diketahui, atau dari hasil/akibat dari sesuatu, lalu menyimpulkan suatu sebab terjadinya sesuatu itu. Proses pernyataan deduktif ini berlaku juga untuk penjelasan tentang hukum, teori dan sains. Kontekstualisme kontemporer menyatakan bahwa penjelasan itu secara esensial berisi dalam sebuah perubahan sosial, yaitu dalam interaksi antara explainor (yang menjelaskan) dan explainee (yang dijelaskan). Dalam posisi realis, penjelasan bukanlah mereduksi yang tak diketahui menjadi diketahui, melainkan menggunakan apa yang telah diketahui untuk mengekplorasi yang secara potensial mampu diketahui tetapi belum diketahui.

Bagi realisme transendental, penjelasan diproduksi secara sosial dan adalah merupakan penjelasan sebab-akibat yang mampu salah dalam kesesuaiannya dengan fenomena yang tak diketahui. Demikian teori sebagai usaha untuk menjelaskan struktur real alam adalah fallible[32]. Akan tetapi fallibilism ini bila tanpa realisme maka akan jatuh pada dadaisme, yaitu jatuh pada skeptisisme ontologis, yang menyatakan bahwa semuanya mungkin terjadi.

Bhaskar menegaskan kembali bahwa fenomena-fenomena alami itu saling terkait. Dengan demikian teori penjelasan itu mungkin dan rasionalitas ada. Dalam ontologi realisme transendental dijelaskan ada dua model utama penjelasan. Pertama adalah penjelasan teoretis (analogical-retroductive) (dengan skema DREI), yaitu: penjelasan tentang cara sesuatu yang mirip hukum bertindak (description); mengunakan analogi dengan fenomena yang telah diketahui bagi penjelasan yang mungkin untuk cara bertindak sesuatu (retroduction); penguraian dan pengurangan penjelasan alternatif (elaboration); menyatakan secara ideal dalam pengenalan yang terkontrol secara empiris dari mekanisme sebab akibat (identification). Kedua adalah penjelasan praktis (decompository-retroductive), yaitu penjelasan beberapa fenomena konkret yang dibuat bagi kondisi nornal objek (open systems). Skemanya adalah RRRE, yaitu: menjelaskan kejadian yang komplek ke dalam komponen-komponennya (resolution); menjelaskan kembali komponennya dalam term yang tepat (redescription); melalui pernyataan hukum yang divalidasi secara mandiri, mengembalikan pilihan kata pada historisitas yang mungkin dari komponen-komponen itu (retrodiction); penghilangan alternatif dari penyebab yang mungkin (elimination).[33]

Kembali pada situasi perubahan saintifik, dijelaskan lebih lanjut bahwa, dalam perubahan konsepsi sains, perubahan makna tidak hanya mungkin tetapi juga tidak dapat dielakkan, dalam perjalanan perkembangan saintifik. Dalam diagram 2.2 di bawah akan nampak jelas bagaimana perubahan teori itu mungkin, yaitu karena adanya perbedaan sumber acuan dalam menjelaskan fenomena berdasarkan teori tertentu. Sebelum beralih dari teori sumber (Ta) haruslah teori itu dimengerti baru kemudian menerapkan hukum yang berlaku.

Diagram 2.2[34]: Pemisahan Makna dalam Perkembangan Teori Penguraian

Diagram ini ingin mengatakan bahwa teori sumber (Ta) menjadi suatu pijakan bagi subjek untuk menyusun teorinya. Pertama subjek perlu mengenali teori sumbernya, kemudian dengan mempertimbangakan objek yang dimilikinya dalam teorinya ia menyusun suatu teori yang lebih memadai untuk menjelaskan fenomena yang ingin dijelaskannya. Teori subjek (Tb) inilah yang kemudian dipakai oleh subjek untuk menjelaskan fenomena yang diamatinya (Pb).

VI. Masalah Incommensurability dan penolakan Superidealisme

Sebelum melangkah lebih lanjut ke dalam diskusi mengenai incommensurability, lebih dulu kita masuk kepada perbedaan tesis dari incommensurability, meaning variance, meaning filiation, meaning uniformity[35]. Tesis incommensurability adalah terletak dalam situasi dimana tidak ada kesamaan makna. Meaning variance berpegang bahwa ada banyak variasi makna. Kedua hal ini dapat diletakkan secara sejajar dan bertentangan dengan anti incommensurability, yaitu: meaning uniformity, yang menekankan bahwa tidak ada perbedaan arti sama sekali; meaning filiation, yang memberikan klaim bahwa ada persamaan dalam arti sehingga memungkinkan penerjemahan. Incommensurability dan meaning variance keduanya memungkinkan bahwa suatu saat terjadi penerjemahan yang mampu memenuhi harapan penerjemah dan atau yang diterjemahkan, tanpa harus ada yang seukur / mampu diterjemahkan, sehingga pelaku komunikasi dapat berhubungan dalam ketaksengajaan, mungkin mengafirmasi dan saling timbal balik, salah mengerti. Bagi Bhaskar ada perbedaan antara reference, yaitu tindakan menuju ke objek di dalam ontogeny[36], dan referent, yaitu objek dalam ontology. Hubungan referent dengan pernyataan adalah apa yang membuat pernyataan itu benar. Selain itu Bhaskar juga membedakan antara relativitas epistemik dan relativisme judgmental. Relativitas epistemik menyatakan bahwa semua kepercayaan diproduksi secara sosial, sehingga pengetahuan itu sementara dan nilai-kebenaran ataupun kriteria rasionalitas tidak berada di luar waktu historis. Relativisme jugmental mempertahankan bahwa semua kepercayaan itu secara setara adalah valid dalam arti bahwa tidak ada dasar rasional yang menentukan pemilihan. Bhaskar menerima relativitas epistemik dan menolak realitivisme jugmental.

Dalam kondisi bahwa tidak ada makna yang saling berbagi antar teori, pertanyaan “apakah dapat dipertahankan pikiran tentang kemungkinan pemilihan rasional dari teori-teori?” oleh Bhaskar akan dijawab ‘ya’ sedangkan superidealis akan menjawab ‘tidak’. Jawaban Bhaskar ini mengandaikan adanya pembedaan antara pengindraan dan referensi dari ekspresi, serta menerima bahwa perbedaan makna tidak menghindarkan pengenalan pada referensi.

Menyebut bahwa dua atau lebih teori adalah incommensurable adalah mengandaikan beberapa kriteria berikut: pertama, mengandaikan bahwa teori-teori itu memiliki area referensi yang sama (overlap); kedua, mengandaikan bahwa teori-teori itu telah dikenali, oleh subjek, mendukung keputusan. Maka dari itu teori-teori dikatakan incommensurable berarti hubungan antara teori itu tidak hanya berbeda melainkan berkonflik, dan memiliki area yang sama. Penggambaran dalam diagram 2.3 berikut akan lebih membantu penjelasan mengenai situasi dalam teori-teori yang incommensurable.

Diagram 2.3[37]: Kuhn-Loss and Referential Overlap in Theory Conflict

Diagram 2.3 memberikan penyederhanaan bahwa: ini tidak mengindikasikan hal yang penting bagi fenomena yang dijelaskan atau penjelasannya; tidak sertamerta memilah cara teori berkonflik; tidak merencanakan suatu komitmen yang tertunda; ini tidak dinamis; dan tidak memberikan tempat bagi kemungkinan penilaian oleh pelaku utama teoretis yang berkonflik.

Maksud dari penjelasan diatas berkaitan juga dengan masalah pemilihan teori. Menentukan teori mana yang lebih baik secara kualitatif adalah kemampuannya untuk mengenali, menguraikan, dan menjelaskan level realitas yang lebih dalam dan secara konseptual dan secara terjelaskan menyatukan sektor yang berbeda dari pengetahuan kita tentang dunia. Meski begitu kecenderungan untuk memilih tak hanya berdasar kemampuan untuk menjelaskan fenomena lebih banyak dari lawannya, tetapi juga kemampuannya untuk maju dalam waktu, yaitu secara kontinu menghasilkan ekses empiris yang terkoroborasi (corroborated/diafirmasi), dan open-ended. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sains adalah sebuah proses yang terus berlanjut, proses ini memiliki tujuan yaitu memperdalam pengetahuan tentang mekanisme alam yang lebih dalam yang secara transfaktual aktif.

Bhaskar menegaskan bahwa suatu yang esensial dan universal itu berlaku dalam pernyataan tentang hukum alam, yang dasarnya terletak di dalam mekanisme alam. Agar pernyataan itu mungkin, menurut Bhaskar, ada tiga kondisi transendental yang harus terpenuhi: (1) dunia harus disusun dari mekanisme yang ada dan bertindak secara mandiri dari manusia; (2) pengetahuan tentangnya harus diproduksi di dalam aktivitas sosial dari sains; (3) manusia harus bebas yaitu mampu bertindak sesuai dengan rencana yang telah disusunya.

VII. Kesimpulan

Realisme transendental ditandai dengan hilangnya ketegangan yang tampak dalam ambivalensi di dalam teori irrealis. Ketegangan itu muncul antara lain antara filsafat dan sains, realisme dan relativisme, relativitas dan rasionalitas, sains dan kebebasan, sains alam dan sains sosial dengan teori dan praktek dari sains. Realisme transendental menunjukkan sebuah jalan untuk mengintegrasikan pembelajaran praktek sains secara filosofis, historis, dan sosiologis.

Realisme transendental menegaskan ketidakidentikan objek-objek dalam dimensi transitif dan intransitif, yaitu pikiran dan hal-hal. Bagi realisme transendental tidak mungkin mengetahui dunia kecuali dalam beberapa penjelasan yang kurang lebih ada sementara dalam sejarah, serta yang diketahui itu ada dan bertindak secara mandiri dari deskripsi itu. Dua kondisi terakhir ini adalah dua aspek kebenaran (epistemik dan ontik).

Dua kondisi kebenaran diatas mengkondisikan bahwa kita harus menggunakan mediasi manusia dalam perdebatan kognitif untuk mengungkapkan keadaan di luar manusia. Dari itu ‘kebenaran selalu terikat pada kemungkinan bahasa, teori dan praktek manusia’[38]. Meski begitu, di dalam cakrawala transendental, kebenaran mencakup dua hal, yaitu klaim, putusan, dan nilai-nilai yang dapat dibuat dalam aktivitas sosial; dan di sisi lain ada kondisi yang berada mandiri dari kita.

Tiga posisi utama dalam sejarah filsafat yang merefleksikan tentang filsafat yaitu: empirisme, yang menyatakan bahwa struktur alam adalah yang diberikan dalam pengalaman; idealisme, yang menyatakan struktur alam adalah apa yang kita konstruksikan atau kita buat; realisme, menyatakan bahwa struktur alam dikenali sebagai syarat-syarat penelitian kausal kita tentang alam, tetapi pengetahuan kita tentangnya diproduksi secara sosial, dalam dasar efek dari penelitian itu. Bagi realisme, kealamiahan manusialah yang menentukan kemungkinan kognitifnya bagi kita. Hanya realisme transendental yang menempatkan manusia di dalam alam, konsisten dengan perkembangan historis dan investigasi kausal sains dan filsafat.



[1] Roy Bhaskar, Scientific Realism and Human Emancipation. London: Verso, 1986. Hal. 2

[2] Hume adalah salah satu dari filsuf empirisme yang juga menolak bahwa manusia memiliki idea bawaan. Menurutnya pengetahuan manusia itu berasal dari pengalaman. Persepsi pikiran manusia berasal dari pengalaman. Kemudian Hume menjelaskan ada dua unsur dari persepsi: Pertama, impression, yaitu kesan yang diterima manusia secara langsung dari pengalamannya, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniahnya. Misalnya: saat tanganku menyentuh api, tanganku langsung merasakan panas. Kedua, idea (pandangan), merupakan hasil asosiasi dari kesan yang telah didapatkan sebelumnya. Pandangan diperoleh secara tidak langsung dari pengalaman, yaitu melalui proses refleksi, mengingat, berfantasi dan sebagainya. (bdk. Simon P. L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, Yogyakarta: Kanisius, 2004. hal.248)

[3] Kontradiksi dan kesimpulan yang tak mengikuti aturan logika yang dihasilkan oleh dua kenyataan atau pernyataan yang nampaknya benar dan beralasan. (lih. Microsoft Encarta 2006. © 1993-2005 Microsoft Corporation.)

[4] Copernican untuk menyebut pemikiran Nicolaus Copernicus (1473-1543) yang secara revolusioner telah mengubah pandangan manusia tentang dunia. Alam semesta yang dulu dilihat sebagai berpusat di bumi (dijelaskan dalam pemikiran Ptolomeus), kini dilihatnya sebagai berpusat pada matahari (Heliocentris). Sebuah padangan yang cukup besar membawa kontroversi saat itu.

[5] Op.Cit. Hal. 5

[6] Seperti yang diterangkan oleh Spinoza bahwa atribut adalah yang ditangkap oleh intelek manusia. Pandangannya itu berbeda dengan Descartes tentang keluasan sebagai substansi. Menurut Spinoza pikiran dan materi adalah manifestasi dari hakekat substansi yang ditangkap oleh manusia.

[7] Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science, Leeds: Leeds Book, 1975. hal 36-38

[8] Pandangan dari idealis ini biasa juga disebut representasionalisme. Representasionalisme idealis menyatakan bahwa benda itu ada setelah dipikirkan oleh manusia. Jadi benda-benda itu adalah konstruksi dari pikiran manusia.

[9] Sebuah sebutan dari Bhaskar terhadap realisme yang bukan realisme transendental, yang baginya realisme seperti ini tidak komplit, tidak eksplisit, tidak mampu dijelaskan. Contoh dari irrealism adalah realisme empiris, realisme konseptual, realisme institusional, realisme transenden. (Lih. Roy bhaskar, Scientific Realism and Human Emancipation. London: Verso, 1986. hal. 9)

[10] Meskipun secara eksplisit Kant menolak metafisika, dan denganya ia menyatakan bahwa metafisika itu tidak mungkin sebagai pengetahuan. Kant sendiri juga tidak menjelaskan seperti apakah metafisika itu, dan mengenai das ding an sich ia tidak menjelaskan lebih lanjut.

[11] Bdk. Ibid. Hal. 12

[12] Selalu terbuka untuk terus dipertanyakan dan disanggah.

[13] Bhaskar menyebutnya sebagai metaphysics α. (Ibid, hal. 19)

[14] Bhaskar menyebutnya sebagai metaphysics β. (Ibid.)

[15] Baskhar menyebutnya sebagai “Platonic-Aristotelian fault line”. (ibid. hal. 23)

[16] Ada objek-objek sains yang tak terelakkan ada dalam pemikiran saintifik secara teknis. Yang pertama adalah objek intransitif, yaitu objek pengetahuan yang ada mandiri dari pemikiran saintifik, yaitu objek real dari pengetahuan saintifik. Lalu ada objek transitif, yang berubah-ubah, yaitu proses pemroduksian pengetahuan, tergantung secara sosio-historis pada pikiran manusia/ilmuwan.(Lih. Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science, Leeds: Leeds Book, 1975. hal 21-dst.) (bdk. Roy Bhaskar, Scientific Realism and Human Emancipation. London: Verso, 1986. Hal. 24)

[17] Popper memberikan penjelasan mengenai Dunia 3, yaitu dunia hasil sintesis dari Dunia 1 (kenyataan fisis dunia) dan Dunia 2 (usaha manusia). (bdk. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995. hal. 162). Istilah Bhaskar mengenai proses transitif di dalam sains ini juga ada kemiripannya dengan Dunia 3 Popper. Dunia 3 Popper inilah hokum-hukum alam yang dipahami oleh manusia. Hukum itu adalah otonom terlepas dari manusia maupun dari alam. Dunia 3 ada sejauh dihayati, dan dalam penghayatan itulah mengendap dalam karya manusia (buku-buku, dll.) dalam Dunia 1. Dunia 2 membuat manusia mampu membangkitkan kembali Dunia 3. Sesuatu yang telah berada dalam Dunia 3 itu otonom, manusia tidak dapat lagi mempengaruhinya, setiap orang bebas untuk menginterpretasikannya.

[18] Roy Bhaskar, Scientific Realism and Human Emancipation. Hal. 25

[19] Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science, Leeds: Leeds Book, 1975. Hal. 27

[20] Keadaan dalam dunia biasa. Hal ini dibedakan dengan closed systems, yaitu keadaan dimana ilmuwan membuat sedemikian rupa keadaan sehingga hanya kondisi yang diinginkan ada dalam penelitian, sehingga pengamatan dapat menjadi semakin spesifik.

[21] … may be possessed unexercised, exercised unrealised, and realised undetected (or unperceived) by science (Bdk. Roy Bhaskar, Scientific Realism and Human Emancipation. Hal. 34.)

[22] Hume menolak pandangan bahwa manusia memiliki pandangan-pandangan bawaan. Menurutnya pengetahuan (kesadaran atau persepsi) berasal dari pengalaman. Ada dua unsur persepsi: (1) kesan (impressions) adalah yang diperoleh langsung dari pengalaman (lahiriah ataupun batiniah), sifatnya jelas, kuat, dan hidup; (2) pandangan (ideas) adalah hasil asosiasi atas kesan yang telah didapatkan sebelumnya. Pandangan diperoleh tidak langsung dari pengalaman melainkan dari proses refleksi, berfikir, mengingat, membandingkan, menghubungkan, berfantasi dan sebagainya. (lih. Simon P.L. Tjahyadi, Petualangan Intelektual, Yogyakarta:Kanisius, 2004. Hal.248) Yang pertama biasa disebut idea of perception, yang kedua disebut sebagai idea of reflection.

[23] Lih. Ibid. hal. 42

[24] Empirisme Klasik, Idealisme Transendental, Realisme Transendental

[25] Dr: Domain real; Da: Domain aktual; De: Domain empiris

[26] Lih. Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science, Leeds: Leeds Book, 1975. Hal. 164

Status of Constant Conjunction of Events

Classical Empiricism

Transendental idealism

Transendental realism

Necessary

Sufficient

for Law

v

v

x

v

x

x


[27] Istilah ini dipahami sebagai sebuah realisme yang memiliki penekanan pada dimensi manusia, yaitu bahwa tolak ukurnya adalah manusia.

[28] Objek transitif dari pengetahuan sains adalah objek pemikiran yang berubah yang diproduksi di dalam sains sebagai fungsi dan hasil dari praktek sains. Objek intransitif dari pengetahuan sains adalah objek real yang (relatif) tidak berubah, berada diluar, dan bertindak secara mandiri dari proses saintifik. (lih. Op. Cit. hal. 51)

[29] Bhaskar memberikan perbedaan dalam ontologi. Ontic1 mengacu pada preposisi tentang yang ada, sejauh menyangkut pengetahuan. Ontic2 menjelaskan tentang objek intransitif dari penelitian saintifik. (lih. Ibid. hal 37)

[30] (Lih. Ibid. 54) Bhaskar lalu menjelaskan bahwa dunia yang pertama adalah dunia intransitif, sedangkan dunia yang kedua adalah dunia transitif.

Paradigma adalah apa yang dimiliki oleh suatu masyarakat sains, dan sebaliknya, masyarakat sains terdiri dari orang-orang yang memiliki paradigma bersama (lih. Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution. (terjemahan Indonesia) Bandung: Pt Remaja Rosdakarya. Hal. 171). Hal paradigma memiliki posisi sentral dalam konsep Kuhn. Penjelasannya menampakkan bahwa sains berkembang tidak secara komulatif tetrapi secara revolusioner. Dijelaskan bahwa paradigma merupakan cara pandang mengenai dunia. Paradigma itu membimbing ilmuwan dalam melakukan proyek ilmiahnya (penelitiannya), dalam masa ilmu normal (normal science). Dalam masa ini ilmuwan tidak kritis memandang paradigmannya sampai pada suatu ketika ia menjumpai anomali yang tak dapat dijelaskan dengan paradigma yang dimilikinya. Kemudian bila anomali itu semakin menumpuk maka terjadilah krisis, ilmuan mulai mempertanyakan paradigma yang dimikinya. Dalam proses itu para ilmuan dapat saja kembali pada paradigma yang dimilikinya dan memperluas cara pandangnya, atau mengembangkan suatu paradigma baru. Dalam cara yang terakhir itulah terjadi revolusi , suatu komunitas ilmuwan beralih pada suatu paradigma yang baru. Inilah dunia yang berbeda bagi para ilmuwan yaitu dunia dengan suatu cara pandang yang baru mengenai dunia. Dunia pada dirinya sendiri tidak berubah hanya cara pandang ilmuwan yang mempelajari dunia itulah yang berubah.

[31] Deduktivis memiliki pandangan yang dapat diberi skema Hukum-Sebab-Akibat. Dengan mengetahui hukum yang berlaku dan mengenali fenomena yang ditangkap maka dapat dicari suatu penyebab terjadinya sesuatu. Bagan diatas disebut Deduktif-Nomologis, yang secara ringkas dapat diterapkan untuk menyimpulkan Hukum, Sebab, Akibat, dengan tentunya dua diantaranya telah dapat ditangkap oleh ilmuwan.

[32] Memiliki kemungkinan untuk dapat salah

[33] Lih. Ibid. hal. 68

[34] Ibid. Hal. 70

Oa= objek sumber; Ta= teori sumber; Tb= teori subjek; Ob= (subject mater) objek dari teori subjek; Pb= fenomena yang dijelaskan oleh Tb; α= hubungan subjek-sumber (model); β= hubungan teori-observasi (penjelasan); γ= hubungan teori-objek (kecukupan yang mewakili); δ= hubungan objek-fenomena (generatif)

[35] Incommensurability secara literer berarti ketidak mampuan untuk diperbandingkan secara seukur, meaning variance dapat diterjemahkan menjadi variasi makna, meaning filiation : penurunan makna, meaning uniformity keseragaman makna.

[36] Perkembangan sesuatu menuju kedewasaan. Bisa dikatakan bahwa reference merupakan suatu patokan untuk perkembangan.

[37] Ibid. Hal. 80

Nb: Teori D dan Teori C menggambarkan dua teori yang dalam konflik; 2,3,4 menggambarkan wilayah dimana referensi dari teori-teori itu saling melingkupi; 1 menggambarkan wilayah yang dilupakan atau yang tak mampu diungkapkan oleh teori C; 5 adalah wilayah yang tak dapat dikatakan oleh teori D; 2 adalah anomali C yang dapat dipecahkan oleh D; 4 adalah anomaly D yang dapat diselesaikan oleh C. Dari diagran ini nampak jelas bahwa wilayah yang ingin dijelaskan oleh beberapa teori yang dikatakabn incommensurable adalah sama, hanya teori-teori yang bertentangan itu memiliki kekhasannya sendiri dalam menjelaskan suatu fenomena. Dikatakan incommensurable karena teori-teori itu memiliki wilayah kebenarannya sendiri.

[38] Lih. Ibid. hal. 99