Monday, August 25, 2014

Perbedaan Paradigma Mengenai Kemajuan Ilmu Pengetahuan

Perbedaan Paradigma Mengenai Kemajuan Ilmu Pengetahuan

(Perdebatan antara Popper-Kuhn-Feyerabend)

I. Pengantar
Ilmu pengetahuan memiliki dua dimensi yaitu: (1) Dimensi fenomena, yang mencakup (a) adanya masyarakat, (b) adanya proses, (c) adanya produk. (2) Dimensi struktural, yang komponennya adalah: (a) Objek sasaran (Gegenstand), (b) Gegenstand yang terus dipertanyakan, (c) adanya motif, (d) adanya temuan. 
Ilmu pengetahuan menjadi mungkin karena adanya asumsi dasar pengetahuan yaitu:
  • Dunia adalah riil terdiri dari alam dan hukum yang mengaturnya
  • Alam memiliki sifat beraturan, berpola dan terstruktur.
  • Kita dapat mengenal alam. Individu merupakan bagian dari alam. Individu dan gambaran sosial dapat dipelajari sama halnya dalam mempelajari alam.
  • Semua fenomena memiliki penyebab.  Adanya penjelasan ilmiah bagi perilaku manusia.
 Dalam makalah ini akan dibahas tentang pandangan bagaimana sains itu maju yang ditinjau dari sudut pandang 3 orang tokoh yakni Karl Popper, Thomas Kuhn dan Paul Feyerabend. Yang menjadi letak perdebatannya adalah pada sisi klaim atas bagaimana sains itu maju. Popper menekankan pada sisi rasionalitas dan objektivitas melalui prinsip falsifikasinya sebagai ciri utama dalam memahami perkembangan sains. Penekanan pada sisi rasionalitas dan objektivitas sains tersebut mendapat tentangan baik dari Kuhn maupun Feyerabend. Kuhn berfokus pada dimensi psikologis dan sosiologis yang mempengaruhi bagaimana sains itu maju, sementara Feyerabend menekankan pada pendekatan anarkistik. Oleh karenanya, pada bagian pertama akan dipaparkan tentang prinsip falsifikasi Popper. Kemudian pembahasan akan dilanjutkan dengan kritik Kuhn atas Popper dan juga kritik Feyerabend terhadap pengagungan rasionalisme. Pada bagian akhir, penulis memberikan catatan kritis terhadap  pandangan ketiga tokoh tersebut.

II. Kemajuan Sains menurut Karl Popper
Bagi Popper, tujuan sains adalah untuk mencapai kebenaran.[1] Kebenaran yang ia maksud adalah kebenaran objektif. Objektivitas dan rasionalitas si ilmuwan menjadi ciri bagi perkembangan yang sifatnya saintifik. Karenanya, seorang ilmuwan harus membersihkan diri dari berbagai asumsi yang mempengaruhinya agar mampu sampai pada sains yang murni. Konteks pemikiran Popper ini adalah mengenai logic of discovery.[2] Popper ingin menjelaskan perkembangan sains dari titik pandang logis. Dengan kata lain, penelitian itu harus mengikuti proses yang logis, yakni  ada  hipotesis atau sistem-sistem teori, dan kemudian diuji melalui observasi dan percobaan, dan dihasilkanlah kesimpulan. Proses ini akan terus berputar-putar seperti itu.[3] Ketika ada “evidence” baru, kemudian melalui proses tersebut dihasilkanlah kesimpulan baru.  Dengan demikian, Popper begitu menekankan mengenai prosedur tentang bagaimana sains itu maju dan berkembang. Ia melihat perkembangan/pertumbuhan sains itu bukan karena accretion (akumulasi pengetahuan) tetapi karena penggulingan revolusioner terhadap sebuah teori yang sudah diterima dan kemudian digantikan dengan teori yang lebih baik.[4]  Proses yang jelas tampak adalah falsifikasi dimana dengan menunjuk satu kesalahan dalam sistem tersebut, maka kesalahan tersebut dapat menginfeksi seluruh system.[5]
Dengan demikian bagi  Popper, sains itu maju melalui prinsip falsifikasi (dapat dibuktikan salah). Melalui prinsip tersebut, ada dua macam kemungkinan yang dapat diperoleh. Yang pertama adalah bahwa dengan membuktikan bahwa suatu hipotesis itu salah, maka hipostesis itu ditinggalkan seluruhnya dan digantikan dengan hipotesis baru yang berhasil (benar sejauh belum dapat dibuktikan salah). Hipotesis yang dapat bertahan dan lolos dalam tes tersebut akan diterima sampai ditemukan pengujian yang lebih ketat. Kemungkinan yang kedua adalah bahwa apabila yang terbuktikan salah itu hanyalah salah satu unsur dari hipotesis tersebut sedangkan inti hipotesis dapat dipertahankan, maka unsur tadi ditinggalkan dan digantikan dengan unsur baru. Dengan demikian, hipotesis tersebut disempurnakan, meskipun tetap terbuka untuk dibuktikan salah.   Karenanya, sains itu maju melalui proses eliminasi yang semakin keras terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan.  Proyek sains adalah mengurangi kadar kesalahan sampai sejauh dan sebanyak mungkin sehingga makin mendekati kebenaran objektif.[6] Teori falsifikasi di sini berbicara bahwa suatu teori selalu memuat teori yang mampu mengugurkannya. Maka teori yang benar bukan teori yang bersih dari kemungkinan untuk digugurkan. [7] Inti dari pandangan  falsifikasinya tersebut dinyatakan oleh Popper  tentang “imu pengetahuan yang mempunyai tugas untuk mencari satu ekor angsa yang tidak berwarna putih terhadap pernyataan bahwa semua angsa berwarna putih.”[8]

III. Kritik Kuhn atas Popper dan Pandangan Kuhn tentang Kemajuan Sains
Kuhn mengkritik Popper atas konsep falsifikasinya. Terkait dengan falsifikasi, Popper memberi contoh tentang angsa putih. Dinyatakan bahwa semua angsa itu berwana putih. Lalu untuk menggugurkan pernyataan tersebut cukuplah dengan menunjukkan bahwa ada angsa yang tidak berwarna putih. Popper mengatakan bahwa dengan cara inilah ilmu pengetahuan berkembang maju, yakni apabila suatu hipotesa telah dibuktikan salah, maka hipotesa itu akan ditinggalkan dan digantikan oleh yang baru. Terhadap  contoh di atas Kuhn mulai mempertanyakan.  Darimana ia tahu bahwa angsa yang bukan putih itu adalah angsa? Apakah yang dianggap sebagai angsa yang bukan putih itu harus diteliti sedemikian rupa supaya dapat dikatakan bahwa itu adalah juga angsa? Apabila Popper menerima bahwa angsa yang bukan putih (misalnya burung berwarna hitam) itu adalah juga angsa maka hal berarti ada perubahan dalam teori kita. Dengan begitu,  Kuhn justru menunjukkan bahwa ada lompatan pada pemikiran Popper, dan jelas bahwa ada banyak hal-hal tidak bisa diterangkan dengan falsifikasi saja.
Selain itu, menurut Kuhn, pendekatan Popper pada ilmu pengetahuan telah menjungkirbalikkan kenyataan dengan terlebih dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis yang disusul dengan usaha falsifikasi. Padahal bagi Kuhn, sejarah ilmu pengetahuan bukanlah terjadi berdasarkan usaha empiris dalam membuktikan salah tidaknya, melainkan berdasarkan revolusi ilmiah.[9]
Revolusi ilmiah yang dimaksud Kuhn dapat digambarkan dalam beberapa tahapan sebagai berikut, yakni: tahap pra sains-sains normal-krisis-revolusi-sains normal baru-krisis baru.[10] Tahap  pra-sains ditandai dengan adanya ketidaksepakatan tentang dasar suatu teori. Oleh karena itu, kebanyakan kerja di dalam kegiatan sains tersebut tidak banyak gunanya. Sedangkan tahap sains normal ditandai dengan munculnya kegiatan untuk memecahkan teka-teki (puzzle solving) di bawah suatu paradigma tertentu.[11] Pada tahap ini, para saintis harus meyakini bahwa paradigma tersebut mampu memberikan sarana-sarana pemecahan teka-teki yang ada di dalamnya. Apabila si saintis tersebut gagal dalam memecahkan teka-teki itu, maka yang disalahkan adalah saintis itu sendiri dan bukannya paradigma yang dipakai.[12] Teka-teki yang tidak dapat dipecahkan oleh paradigma tersebut akan dipandang sebagai anomali. Tahap krisis dalam kepercayaan terhadap paradigma tersebut muncul ketika anomali-anomali yang terjadi semakin banyak dan serius. Serius dalam arti:[13] (1) anomali tersebut benar-benar menghantam pada sisi yang amat mendasar dari paradigma tersebut dan terus saja membuat buntu usaha-usaha yang dilakukan oleh para anggota dari komintas sains normal tersebut sehingga mereka terdorong untuk melepas paradigma tersebut. Di dalamnya, terdapat pula kritik ilmiah tentang asumsi dasar suatu paradigma karena begitu banyaknya anomali yang muncul.[14] (2) Terdapat perubahan dalam situasi sosial kultural yang mendesak supaya terjadi perubahan sesuatu paradigma.[15] (3) Tahap krisis tersebut makin serius lagi manakala telah muncul paradigma tandingan yang baru. Paradigma tandingan ini jelas sangat berbeda dengan paradigma yang lama.
Setelah tahap krisis, kemudian terjadi revolusi yakni perpindahan dari paradigma lama ke paradigma baru. Penjelasannya adalah sebagai berikut. Dalam tahap krisis, biasanya paradigma lama tetap dipertahankan oleh para saintis yang sudah tua. Paradigma baru dipertahankan oleh saintis yang muda. Mereka ini (yang mempertahankan paradigma lama dan yang mempertahankan paradigma baru) seperti berada dalam dunia yang berbeda, atau dengan kata lain antara paradigma lama dan paradigma baru itu bersifat “conceptually incommensurable”. Meskipun demikian, lama kelamaan paradigma lama akan semakin ditinggalkan karena kehilangan popularitasnya dan tidak mampu memikat ahli sains yang baru. Dengan demikian, paradigma baru menjadi dominan di antara komunitas ahli sains. Dalam hal ini, Kuhn membandingkan kemiripan antara revolusi saintifik dengan revolusi politis, yang mana kemenangan dari paradigma yang hendak dipakai itu kemudian lebih dipandang dari sisi menang secara persuasif.[16] Pengadaptasian terhadap paradigma baru itu semakin diperteguh dengan bertambahnya dukungan dari komunitas sains secara keseluruhan. Pengadaptasian tersebut mirip juga seperti orang yang berpindah/”bertobat” ke salah satu agama. 
Berdasarkan pemahaman di atas, dapat disimpulkan bahwa kriteria kemajuan sains itu (pemilihan paradigma mana yang lebih unggul) itu lebih bersifat psikologis dan sosial daripada rasional. Paradigma baru akan dipilih sekiranya paradigma itu lebih sederhana (simplicity) , ataupun karena adanya suatu kebutuhan sosial yang begitu menekan atau juga  karena kemampuan dalam semakin memecahkan banyak teka-teki. Dikatakan bersifat psikologis adalah juga karena bagi Kuhn  yang membuat sains itu maju adalah bukan karena falsifikasi Popper melainkan karena psikologi para saintis (ilmuwan) itu sendiri. Para saintis itu dipacu untuk membuat suatu terobosan baru dalam sains.  Dari mana mereka   membuat terobosan-terobosan? Bagi Kuhn, hal ini terletak pada dorongan psikologis si saintis tersebut.[17] Bagi para saintis, yang menjadi tujuan adalah solusi atas suatu teka-teki instrumental/konseptual yang sulit dan  keberhasilannya dalam usaha tersebut dihargai melalui pengakuan dari anggota-anggota lain dalam grup profesionalnya dan hanya oleh mereka saja. Sedangkan manfaat praktis dari solusinya hanyalah menjadi nomor dua. Dengan demikian, saintis itu sendiri ingin maju selain karena ada tuntutan profesi, mereka juga memandang bahwa  dorongan untuk membuat terobosan baru itulah yang menggerakkan mereka untuk menemukan teori baru. Dengan demikian, secara lugas Kuhn menyebut bahwa penjelasan akhir tentang bagaimana sains itu dapat maju haruslah ditempatkan dalam kerangka psikologi atau sosiologi.[18]

IV. Paul Feyerabend: dari Pendekatan Anarkistik sampai ‘Free Society’
            Paul Feyerabend memiliki pandangan yang menarik mengenai sains. Menurutnya, kemajuan sains tidak sama dengan kemajuan prinsip-prinsip rasionalitas maupun asas-asas obyektivitas sepeti yang ingin dicapai oleh Popper. Justru menurutnya, metode tidak akan memberikan kemajuan baik bagi sains maupun bagi peradaban manusia. Yang terjadi justru dengan metode tersebut, sains akan dipersempit dan diasingkan dari realitas manusia yang sesungguhnya.
Sains harusnya berjalan dengan prinsip anarkisme, yaitu anything goes. Anarkis yang dimaksud oleh Feyerabend adalah sikap terbuka pada setiap aspek: pandangan religius, pandangan lokal, aspek emosi peneliti, bahkan aspek humoris seorang peneliti. Anarkis profesional menolak segala bentuk pembatasan dan memperjuangkan kebebasan individu untuk berkembang secara merdeka. Pandangan anarkis ini dilatarbelakangi oleh argumen Feyerabend bahwa: (1) baik sejarah secara umum maupun sejarah revolusi selalu memiliki isi yang lebih kaya, lebih beragam, memiliki banyak sisi, lebih hidup dan lebih halus daripada yang dibayangkan oleh sejarahwan atau pakar metodologi terbaik manapun. Keberagamaan itu menunjukkan kompleksitas perubahan manusia dan betapa suatu tindakan atau putusan manusia itu sulit diprediksi[19]. (2) dunia ini merupakan entitas yang tak diketahui (unknown entity), oleh karena itu kita harus membuka segala kemungkinan untuk pendekatan terhadap dunia tersebut dan tidak menaruh batasan apapun. Tidak ada jaminan bahwa ketentuan-ketentuan epistemologis yang dahsyat adalah jalan terbaik untuk menyingkap hingga ke rahasia-rahasia alam yang terdalam[20]. (3) Praktek sains saat ini terjadi bertentangan dengan pandangan humanitarian, karena bertentangan dengan pengembangan individualitas, yang merupakan jalan satu-satunya untuk mencapai keberadaban[21].
Feyerabend melihat sains kini disakralkan, persis dengan kedudukan agama. Feyerabend melihat bahwa rasionalisme menjadi seperti agama. Agama memandang dirinya sebagai suatu kebenaran yang mutlak, yang dilengkapi dengan suatu sistem dan prakteknya sendiri.[22] Demikian pula dengan rasionalisme, yang sebenarnya juga berupa keyakinan akan daya rasio sebagai yang mutlak dalam proses memperoleh pengetahuan. Sains bukanlah sesuatu hal yang sakral, jika kita mencermati apa yang terjadi dalam sejarah. Sains sendiri hanya merupakan suatu hasil dari interaksi demi interaksi yang terjadi, antara tradisi non-rasional dengan tradisi rasional. Dalam interaksi itu, terdapat kebebasan dan kesukarelaan, kemauan untuk melihat kebutuhan dan bukan melulu pemaksaan. Oleh karena itu, dalam praktek sains sekarang ini, Feyerabend menyayangkan mengapa rasionalitas dalam sains dianggap sebagai suatu hal yang mutlak (di mana mau tidak mau setiap orang harus masuk di dalamnya) dan menganggap rendah tradisi-tradisi lokal, karena dianggap tidak rasional.
Ide mengenai metode yang telah terbakukan (fixed) atau teori rasionalitas yang telah terbakukan adalah naif, karena dengan demikian mengingkari integritas manusia dan keluasan dimensi alamiah di dalamnya, termasuk insting-insting, dan pengembaraan intelektual. Secara historis, perkembangan sains tidak berjalan secara kaku, yaitu hanya dengan menganut atau menjalankan prinsip yang kaku, tak tergantikan. Di dalam sains, terjadi banyak pelanggaran metodik yang justru membawa pada perkembangan. Hal ini diakui oleh Feyerabend sebagai suatu hal yang niscaya mutlak terjadi demi perkembangan pengetahuan.
Prinsip anarkisme itu menjadi penentu kemajuan, karena dari situ terdapat keterbukaan manusia terhadap nilai-nilai yang dirasakan penting. Dalam kegiatan penelitian apapun, harus berlaku hukum obyektivitas dan partisipatif; dan asas kerjanya dilakukan secara merdeka dengan berorientasi pada pragmatisme.
Feyerabend melihat ke depan, bahwa upaya pragmatisme dan anarkisme itu haruslah membentuk suatu masyarakat yang merdeka (free society), yang sepenuhnya mau bersikap toleran dan mengakui kebebasan tiap-tiap individu. Dalam free society, harus ada suatu tanggapan yang baik dan ramah terhadap setiap tradisi atau pandangan baru yang ditawarkan. Masyarakat yang merdeka adalah yang tradisi-tradisi di dalamnya memberikan persamaan hak, persamaan akses terhadap pendidikan dan posisi-posisi kekuasaan. 
Secara garis besar, upaya dan pemikiran Feyerabend merupakan sebuah upaya untuk mendudukkan sains dalam konteks historis, seperti yang ada dalam pertimbangan Thomas Kuhn. Meski terkesan keras, pandangan Feyerabend tidak berarti menumbangkan aktivitas sains, justru dengan itu, Feyerabend memperlihatkan aspek kemajuan yang harus diperjuangkan oleh sains.

V. Tanggapan Kritis
            Konteks Popper dalam memunculkan prinsip falsifikasi dalam epistemologinya sebetulnya bermaksud untuk membebaskan ilmu pengetahuan dari kecenderungan untuk bersifat ideologis. Baginya, hal-hal yang bersifat ideologis selalu mengarah pada penindasan. Dengan adanya penindasan, kebebasan berpikir orang menjadi terbelenggu.
            Mencermati pandangan Kuhn dan Feyerabend di atas, tampak bahwa arah yang dituju adalah untuk tidak terlalu memposisikan sisi rasionalitas di atas segala-galanya. Seolah-olah kemajuan ilmu itu tergantung dan diukur dari aspek rasionalitasnya. Kuhn dan Feyerabend memberikan pandangan alternatif. Karenanya upaya Kuhn yang pertama-tama hendak melihat ilmu sebagai kegiatan manusia mau tak mau merupakan pendobrakan terhadap pandangan yang lebih menempatkann segi rasionalitas kegiatan berilmu itu. Namun anggapan Kuhn yang menekankan aspek non-rasional dan subjektif itu bukan berarti ingin meniadakan rasionalitas. Yang ditolak oleh Kuhn adalah rasionalitas yang sui-generis, yang seolah-olah tidak tergantung pada suatu apapun di luar dirinya. Pandangan Kuhn yang juga bersifat sosiologis ini dimaksudkan untuk membantu kita untuk  melihat kegiatan keilmuan secara lebih luas. Dalam arti bahwa, kegiatan keilmuan tersebut tidak tergantung semata-mata dari penekanan rasionalitas dan objektivitas si ilmuwan tetapi tergantung juga pada pengaruh komunitas ilmiah dan kondisi yang ada pada waktu itu. Sebetulnya mirip dengan Popper, baik Kuhn maupun Feyerabend ingin memerangi kencenderungan ideologis baik dalam  pandangan positivisme maupun rasionalisme.

VI. Penutup
            Dari uraian di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa baik dimensi rasionalitas maupun dimensi yang lain (psikologis, sosiologis, kultural)  memainkan peranan yang penting dalam perkembangan sains. Untuk memahami sains memanglah dibutuhkan pengujian-pengujian yang tidak lepas dari unsur rasionalitas dan objektivitasnya. Meskipun demikian, dimensi-dimensi yang lain juga tidaklah dapat diabaikan. Sebagaimana yang dinyatakan Feyerabend bahwa janganlah sampai  dimensi rasionalitas tersebut begitu disakralkan sehingga menyingkirkan aspek-aspek lain yang dipandang tidak rasional. Karenanya yang memang perlu dihindari adalah rasionalitas yang sui-generis, yang mencukupkan diri (rasionalitas) dan tidak perlu tergantung pada sesuatu di luar dirinya. Penekanan yang terlalu esktrem ini dapat menggiring orang pada hal-hal yang bersifat ideologis.


[1] W. H. Newton-Smith, The Rationality of Science, London: Routledge, 1981, page. 44.
[2] Karl Popper, “The Rationality of Scientific Revolution”, Scientific Revolutions (Ed: Ian Hacking Hacking), New York: Oxford, 1981, page. 82.
[3] Thomas S. Kuhn, “Logic of Discovery or Psychology of Research?”, The Essential Tension: Selected Studies in Scientific Tradition and Change, Chicago: The University of Chicago Press, 1977,  page. 270.
[4] Thomas S. Kuhn, Ibid., page. 271.
[5] Thomas S. Kuhn, Ibid., page. 280.
[6] C. Verhaak & R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gramedia, 1995, hal. 160.
[7] W. H. Newton-Smith, Op.cit., page.  44.
[8] In Nugroho Budisantoso, “Prinsip Falsifikasi Popper” dalam Driyarkara edisi 2000, Jakarta: STF Driyarkara, hal. 33.
[9] In Nugroho Budisantoso, Ibid., hal. 36.
[10] A.F. Chalmers, What is This Thing Called Science?, Milton Keynes: The Open University Press, 1978, page. 90.
[11] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago : The University of Chicago Press, 1970, page. 35.
[12] A.F. Chalmers, Ibid., page. 92.
[13] A.F. Chalmers, Ibid., Milton Keynes: The Open University Press, 1978, page. 93-95.
[14] Contohnya adalah tentang kaitan antara konsep aether dengan gerak bumi dalam teori Maxwell. Aether itu dipostulatkan Maxwell untuk menjelaskan gerak gelombang elektromagnet (seperti cahaya dan sinar-X). Aether itu dimengerti sebagai sesuatu yang tidak ada massa atau warna dan  tidak bisa ditemukan secara kimia atau fisik. Teori ini menemukan rintangan utama dalam eksperimen oleh Michelson-Morley (1881) yang dibuat khas untuk menyelidiki kecepatan bumi dalam kaitan dengan aether. Hasil penelitian ini harusnya menunjukkan perubahan dalam kecepatan cahaya tetapi menunjukkan bahawa kecepatan cahaya dalam aether itu tidak berubah dalam situasi apapun. Pada tahun 1905, konsep aether itu ditinggalkan ketika Albert Einstein membuat hipotesa bahwa kecepatan cahaya dan semua gelombang elektromagnet adalah tetap (universal constant). Hipotesa Einstein ini diterima mayoritas komunitas ahli sains hingga hari ini. (lihat  tulisan Mark Aloysius dengan judul Peran Paradigma dan Komunitas Ahli Sains dalam Kegiatan Sains menurut Thomas Kuhn,  STF Driyarkara, 2005)
[15] Contoh dari dorongan kebutuhan sosial tersebut adalah sebagai berikut. Ketika muncul system kalender yang baru menurut teori Copernicus, masyarakat kemudian tergerak untuk meninggalkan system penghitungan astronomi Ptolomeus yang sebelumnya dipakai. Teori Copernicus itu lebih dipakai karena lebih sederhana (simplictiy). daripada
[16] A.F. Chalmers, Op.cit., page. 97.
[17] Thomas S. Kuhn, Op.cit., page. 291.
[18] Thomas S. Kuhn, Ibid., page. 290.
[19] Paul Feyerabend, Against Method, London: Verso, 1993, page. 10-11. Feyerabend memberikan sebuah contoh, berupa pengakuan Einstein tentang the external conditions, yaitu kondisi eksternal yang ‘are set for (the scientist) by the facts of experience do not permit him to let himself too much restricted, in the construction of his conceptual world, by adherence to an epistemological system. Dalam bidang social, dia menunjukkan pula bagaimana Vladimir Lenin juga mengajak semua orang untuk siap berganti dari satu konsep ke konsep yang lain, demi revolusi.
[20] Paul Feyerabend, ibid, page. 12. ‘Epistemological prescriptions may look splendid when compared with other epistemological prescriptions, or with general principles – but who can guarantee that they are the best way to discover, not just a few isolated “facts”, but also some deep-lying secrets of nature?’
[21] Paul Feyerabend, ibid., page. 12 Dengan ini, dia mencontohkannya dengan kaki-kaki gadis-gadis China yang dipakaikan sepatu yang sangat sempit.
[22] Paul Feyerabend, ibid., page. 235. Menurut Feyerabend, agama dapat menjadi suatu sistem yang demikian, karena agama mengembangkan diri sebagai suatu wilayah di luar tradisi, jadi meski tradisi terus berkembang, terus berubah, tidak demikian yang terjadi dengan agama. Dalam wilayah tersendiri itu, agama memerikan segala hal secara detail, metode juga prakteknya.