Perbedaan Paradigma
Mengenai Kemajuan Ilmu Pengetahuan
(Perdebatan
antara Popper-Kuhn-Feyerabend)
I. Pengantar
Ilmu
pengetahuan memiliki dua dimensi yaitu: (1) Dimensi fenomena, yang mencakup (a)
adanya masyarakat, (b) adanya proses, (c) adanya produk. (2) Dimensi
struktural, yang komponennya adalah: (a) Objek sasaran (Gegenstand), (b) Gegenstand
yang terus dipertanyakan, (c) adanya motif, (d) adanya temuan.
Ilmu
pengetahuan menjadi mungkin karena adanya asumsi dasar pengetahuan yaitu:
- Dunia adalah riil terdiri dari alam dan hukum yang
mengaturnya
- Alam memiliki sifat beraturan, berpola dan
terstruktur.
- Kita dapat mengenal alam. Individu merupakan bagian
dari alam. Individu dan gambaran sosial dapat dipelajari sama halnya dalam
mempelajari alam.
- Semua fenomena memiliki penyebab. Adanya penjelasan ilmiah bagi perilaku
manusia.
II. Kemajuan Sains menurut Karl Popper
Bagi Popper,
tujuan sains adalah untuk mencapai kebenaran.[1]
Kebenaran yang ia maksud adalah kebenaran objektif. Objektivitas dan
rasionalitas si ilmuwan menjadi ciri bagi perkembangan yang sifatnya saintifik.
Karenanya, seorang ilmuwan
harus membersihkan diri dari berbagai asumsi yang mempengaruhinya agar mampu
sampai pada sains yang murni. Konteks pemikiran Popper ini adalah
mengenai logic of discovery.[2] Popper
ingin menjelaskan perkembangan sains dari titik pandang logis. Dengan kata
lain, penelitian itu harus mengikuti proses yang logis, yakni ada
hipotesis atau sistem-sistem teori, dan kemudian diuji melalui observasi
dan percobaan, dan dihasilkanlah kesimpulan. Proses ini akan terus
berputar-putar seperti itu.[3] Ketika
ada “evidence” baru, kemudian melalui proses tersebut dihasilkanlah kesimpulan
baru. Dengan demikian, Popper
begitu menekankan mengenai prosedur tentang bagaimana sains itu maju dan
berkembang. Ia melihat perkembangan/pertumbuhan sains itu bukan karena accretion (akumulasi pengetahuan) tetapi
karena penggulingan revolusioner terhadap sebuah teori yang sudah diterima dan
kemudian digantikan dengan teori yang lebih baik.[4] Proses yang jelas tampak adalah falsifikasi
dimana dengan menunjuk satu kesalahan dalam sistem tersebut, maka kesalahan
tersebut dapat menginfeksi seluruh system.[5]
Dengan
demikian bagi Popper, sains itu maju
melalui prinsip falsifikasi (dapat dibuktikan salah). Melalui prinsip tersebut,
ada dua macam kemungkinan yang dapat diperoleh. Yang pertama adalah bahwa
dengan membuktikan bahwa suatu hipotesis itu salah, maka hipostesis itu
ditinggalkan seluruhnya dan digantikan dengan hipotesis baru yang berhasil
(benar sejauh belum dapat dibuktikan salah). Hipotesis yang dapat bertahan dan
lolos dalam tes tersebut akan diterima sampai ditemukan pengujian yang lebih
ketat. Kemungkinan yang kedua adalah bahwa apabila yang terbuktikan salah itu
hanyalah salah satu unsur dari hipotesis tersebut sedangkan inti hipotesis
dapat dipertahankan, maka unsur tadi ditinggalkan dan digantikan dengan unsur
baru. Dengan demikian, hipotesis tersebut disempurnakan, meskipun tetap terbuka
untuk dibuktikan salah. Karenanya,
sains itu maju melalui proses eliminasi yang semakin keras terhadap kemungkinan
kekeliruan dan kesalahan. Proyek sains
adalah mengurangi kadar kesalahan sampai sejauh dan sebanyak
mungkin sehingga makin mendekati kebenaran objektif.[6] Teori falsifikasi di sini berbicara
bahwa suatu teori selalu memuat teori yang mampu mengugurkannya. Maka teori
yang benar bukan teori yang bersih dari kemungkinan untuk digugurkan. [7] Inti
dari pandangan falsifikasinya tersebut
dinyatakan oleh Popper tentang “imu
pengetahuan yang mempunyai tugas untuk mencari satu ekor angsa yang tidak
berwarna putih terhadap pernyataan bahwa semua angsa berwarna putih.”[8]
III. Kritik Kuhn atas Popper dan Pandangan Kuhn tentang Kemajuan
Sains
Selain itu,
menurut Kuhn , pendekatan Popper
pada ilmu pengetahuan telah menjungkirbalikkan kenyataan dengan terlebih dahulu
menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis yang disusul dengan
usaha falsifikasi. Padahal bagi Kuhn , sejarah ilmu
pengetahuan bukanlah terjadi berdasarkan usaha empiris dalam membuktikan salah
tidaknya, melainkan berdasarkan revolusi ilmiah.[9]
Revolusi
ilmiah yang dimaksud Kuhn dapat digambarkan dalam beberapa tahapan sebagai
berikut, yakni: tahap pra sains-sains normal-krisis-revolusi-sains normal
baru-krisis baru.[10] Tahap pra-sains ditandai dengan adanya
ketidaksepakatan tentang dasar suatu teori. Oleh karena itu, kebanyakan kerja
di dalam kegiatan sains tersebut tidak banyak gunanya. Sedangkan tahap sains
normal ditandai dengan munculnya kegiatan untuk memecahkan teka-teki (puzzle solving) di bawah suatu paradigma
tertentu.[11]
Pada tahap ini, para saintis harus meyakini bahwa paradigma tersebut mampu
memberikan sarana-sarana pemecahan teka-teki yang ada di dalamnya. Apabila si
saintis tersebut gagal dalam memecahkan teka-teki itu, maka yang disalahkan
adalah saintis itu sendiri dan bukannya paradigma yang dipakai.[12]
Teka-teki yang tidak dapat dipecahkan oleh paradigma tersebut akan dipandang
sebagai anomali. Tahap krisis dalam kepercayaan terhadap paradigma tersebut
muncul ketika anomali-anomali yang terjadi semakin banyak dan serius. Serius
dalam arti:[13]
(1) anomali tersebut benar-benar menghantam pada sisi yang amat mendasar dari
paradigma tersebut dan terus saja membuat buntu usaha-usaha yang dilakukan oleh
para anggota dari komintas sains normal tersebut sehingga mereka terdorong
untuk melepas paradigma tersebut. Di
dalamnya, terdapat pula kritik ilmiah tentang asumsi dasar suatu paradigma
karena begitu banyaknya anomali yang muncul.[14] (2)
Terdapat perubahan dalam situasi sosial kultural yang mendesak supaya terjadi
perubahan sesuatu paradigma.[15] (3)
Tahap krisis tersebut makin serius lagi manakala telah muncul paradigma
tandingan yang baru. Paradigma tandingan ini jelas sangat berbeda dengan
paradigma yang lama.
Setelah tahap
krisis, kemudian terjadi revolusi yakni perpindahan dari paradigma lama ke
paradigma baru. Penjelasannya adalah sebagai berikut. Dalam tahap krisis,
biasanya paradigma lama tetap dipertahankan oleh para saintis yang sudah tua.
Paradigma baru dipertahankan oleh saintis yang muda. Mereka ini (yang
mempertahankan paradigma lama dan yang mempertahankan paradigma baru) seperti berada
dalam dunia yang berbeda, atau dengan kata lain antara paradigma lama dan
paradigma baru itu bersifat “conceptually incommensurable”. Meskipun demikian,
lama kelamaan paradigma lama akan semakin ditinggalkan karena kehilangan
popularitasnya dan tidak mampu memikat ahli sains yang baru. Dengan demikian,
paradigma baru menjadi dominan di antara komunitas ahli sains. Dalam hal ini, Kuhn membandingkan kemiripan antara revolusi saintifik
dengan revolusi politis, yang mana kemenangan dari paradigma yang hendak
dipakai itu kemudian lebih dipandang dari sisi menang secara persuasif.[16]
Pengadaptasian terhadap paradigma baru itu semakin diperteguh dengan
bertambahnya dukungan dari komunitas sains secara keseluruhan. Pengadaptasian
tersebut mirip juga seperti orang yang berpindah/”bertobat” ke salah satu
agama.
Berdasarkan
pemahaman di atas, dapat disimpulkan bahwa kriteria kemajuan sains itu
(pemilihan paradigma mana yang lebih unggul) itu lebih bersifat psikologis dan
sosial daripada rasional. Paradigma baru akan dipilih sekiranya paradigma itu
lebih sederhana (simplicity) ,
ataupun karena adanya suatu kebutuhan sosial yang begitu menekan atau juga karena kemampuan dalam semakin memecahkan
banyak teka-teki. Dikatakan bersifat psikologis adalah juga karena bagi Kuhn yang membuat
sains itu maju adalah bukan karena falsifikasi Popper
melainkan karena psikologi para saintis (ilmuwan) itu sendiri. Para saintis itu dipacu untuk membuat suatu terobosan
baru dalam sains. Dari mana mereka membuat terobosan-terobosan? Bagi Kuhn, hal
ini terletak pada dorongan psikologis si saintis tersebut.[17] Bagi
para saintis, yang menjadi tujuan adalah solusi atas suatu teka-teki
instrumental/konseptual yang sulit dan
keberhasilannya dalam usaha tersebut dihargai melalui pengakuan dari
anggota-anggota lain dalam grup profesionalnya dan hanya oleh mereka saja.
Sedangkan manfaat praktis dari solusinya hanyalah menjadi nomor dua. Dengan
demikian, saintis itu sendiri ingin maju selain karena ada tuntutan profesi,
mereka juga memandang bahwa dorongan
untuk membuat terobosan baru itulah yang menggerakkan mereka untuk menemukan
teori baru. Dengan demikian, secara lugas Kuhn
menyebut bahwa penjelasan akhir tentang bagaimana sains itu dapat maju haruslah
ditempatkan dalam kerangka psikologi atau sosiologi.[18]
IV. Paul Feyerabend: dari Pendekatan Anarkistik
sampai ‘Free Society’
Paul Feyerabend memiliki pandangan yang
menarik mengenai sains. Menurutnya, kemajuan sains tidak sama dengan kemajuan
prinsip-prinsip rasionalitas maupun asas-asas obyektivitas sepeti yang ingin
dicapai oleh Popper. Justru menurutnya, metode tidak akan memberikan kemajuan
baik bagi sains maupun bagi peradaban manusia. Yang terjadi justru dengan
metode tersebut, sains akan dipersempit dan diasingkan dari realitas manusia
yang sesungguhnya.
Sains harusnya berjalan dengan prinsip anarkisme,
yaitu anything goes. Anarkis yang
dimaksud oleh Feyerabend adalah sikap terbuka pada setiap aspek: pandangan
religius, pandangan lokal, aspek emosi peneliti, bahkan aspek humoris seorang
peneliti. Anarkis profesional menolak
segala bentuk pembatasan dan memperjuangkan kebebasan individu untuk berkembang
secara merdeka. Pandangan anarkis ini dilatarbelakangi oleh argumen Feyerabend
bahwa: (1) baik sejarah secara umum maupun sejarah revolusi selalu memiliki isi
yang lebih kaya, lebih beragam, memiliki banyak sisi, lebih hidup dan lebih
halus daripada yang dibayangkan
oleh sejarahwan atau pakar metodologi terbaik manapun. Keberagamaan itu
menunjukkan kompleksitas perubahan manusia dan betapa suatu tindakan atau
putusan manusia itu sulit diprediksi[19]. (2) dunia ini merupakan
entitas yang tak diketahui (unknown
entity), oleh karena itu kita harus membuka segala kemungkinan untuk
pendekatan terhadap dunia tersebut dan tidak menaruh batasan apapun. Tidak ada
jaminan bahwa ketentuan-ketentuan epistemologis yang dahsyat adalah jalan
terbaik untuk menyingkap hingga ke rahasia-rahasia alam yang terdalam[20]. (3) Praktek sains saat
ini terjadi bertentangan dengan pandangan humanitarian, karena bertentangan
dengan pengembangan individualitas, yang merupakan jalan satu-satunya untuk
mencapai keberadaban[21].
Feyerabend melihat sains kini disakralkan, persis
dengan kedudukan agama. Feyerabend melihat bahwa rasionalisme menjadi seperti
agama. Agama memandang dirinya sebagai suatu kebenaran yang mutlak, yang
dilengkapi dengan suatu sistem dan prakteknya sendiri.[22] Demikian pula dengan
rasionalisme, yang sebenarnya juga berupa keyakinan akan daya rasio sebagai
yang mutlak dalam proses memperoleh pengetahuan. Sains bukanlah sesuatu hal
yang sakral, jika kita mencermati apa yang terjadi dalam sejarah. Sains sendiri
hanya merupakan suatu hasil dari interaksi
demi interaksi yang terjadi, antara tradisi non-rasional dengan tradisi
rasional. Dalam interaksi itu, terdapat kebebasan dan kesukarelaan, kemauan
untuk melihat kebutuhan dan bukan melulu pemaksaan. Oleh karena itu, dalam
praktek sains sekarang ini, Feyerabend menyayangkan mengapa rasionalitas dalam
sains dianggap sebagai suatu hal yang mutlak (di mana mau tidak mau setiap
orang harus masuk di dalamnya) dan menganggap rendah tradisi-tradisi lokal,
karena dianggap tidak rasional.
Ide mengenai metode yang telah terbakukan (fixed) atau teori rasionalitas yang
telah terbakukan adalah naif, karena dengan demikian mengingkari integritas
manusia dan keluasan dimensi alamiah di dalamnya, termasuk insting-insting, dan
pengembaraan intelektual. Secara historis, perkembangan sains tidak berjalan
secara kaku, yaitu hanya dengan menganut atau menjalankan prinsip yang kaku,
tak tergantikan. Di dalam sains, terjadi banyak pelanggaran metodik yang justru
membawa pada perkembangan. Hal ini diakui oleh Feyerabend sebagai suatu hal
yang niscaya mutlak terjadi demi perkembangan pengetahuan.
Prinsip anarkisme itu menjadi penentu kemajuan,
karena dari situ terdapat keterbukaan manusia terhadap nilai-nilai yang
dirasakan penting. Dalam kegiatan penelitian apapun, harus berlaku hukum
obyektivitas dan partisipatif; dan asas kerjanya dilakukan secara merdeka
dengan berorientasi pada pragmatisme.
Feyerabend melihat ke depan, bahwa upaya
pragmatisme dan anarkisme itu haruslah membentuk suatu masyarakat yang merdeka
(free society), yang sepenuhnya mau
bersikap toleran dan mengakui kebebasan tiap-tiap individu. Dalam free society, harus ada suatu tanggapan
yang baik dan ramah terhadap setiap tradisi atau pandangan baru yang
ditawarkan. Masyarakat yang merdeka adalah yang tradisi-tradisi di dalamnya
memberikan persamaan hak, persamaan akses terhadap pendidikan dan posisi-posisi
kekuasaan.
Secara garis besar, upaya dan pemikiran Feyerabend
merupakan sebuah upaya untuk mendudukkan sains dalam konteks historis, seperti
yang ada dalam pertimbangan Thomas Kuhn. Meski terkesan keras, pandangan
Feyerabend tidak berarti menumbangkan aktivitas sains, justru dengan itu,
Feyerabend memperlihatkan aspek kemajuan yang harus diperjuangkan oleh sains.
V. Tanggapan Kritis
Mencermati
pandangan Kuhn dan Feyerabend di atas, tampak bahwa
arah yang dituju adalah untuk tidak terlalu memposisikan sisi rasionalitas di
atas segala-galanya. Seolah-olah kemajuan ilmu itu tergantung dan diukur dari
aspek rasionalitasnya. Kuhn dan Feyerabend
memberikan pandangan alternatif. Karenanya upaya Kuhn
yang pertama-tama hendak melihat ilmu sebagai kegiatan manusia mau tak mau
merupakan pendobrakan terhadap pandangan yang lebih menempatkann segi
rasionalitas kegiatan berilmu itu. Namun anggapan Kuhn
yang menekankan aspek non-rasional dan subjektif itu bukan berarti ingin
meniadakan rasionalitas. Yang ditolak oleh Kuhn
adalah rasionalitas yang sui-generis,
yang seolah-olah tidak tergantung pada suatu apapun di luar dirinya. Pandangan Kuhn
yang juga bersifat sosiologis ini dimaksudkan untuk membantu kita untuk melihat kegiatan keilmuan secara lebih luas.
Dalam arti bahwa, kegiatan keilmuan tersebut tidak tergantung semata-mata dari
penekanan rasionalitas dan objektivitas si ilmuwan tetapi tergantung juga pada
pengaruh komunitas ilmiah dan kondisi yang ada pada waktu itu. Sebetulnya mirip
dengan Popper, baik Kuhn maupun Feyerabend ingin
memerangi kencenderungan ideologis baik dalam
pandangan positivisme maupun rasionalisme.
VI. Penutup
Dari
uraian di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa baik dimensi rasionalitas
maupun dimensi yang lain (psikologis, sosiologis, kultural) memainkan peranan yang penting dalam
perkembangan sains. Untuk memahami sains memanglah dibutuhkan
pengujian-pengujian yang tidak lepas dari unsur rasionalitas dan
objektivitasnya. Meskipun demikian, dimensi-dimensi yang lain juga tidaklah
dapat diabaikan. Sebagaimana yang dinyatakan Feyerabend bahwa janganlah
sampai dimensi rasionalitas tersebut
begitu disakralkan sehingga menyingkirkan aspek-aspek lain yang dipandang tidak
rasional. Karenanya yang memang perlu dihindari adalah rasionalitas yang
sui-generis, yang mencukupkan diri (rasionalitas) dan tidak perlu tergantung
pada sesuatu di luar dirinya. Penekanan yang terlalu esktrem ini dapat
menggiring orang pada hal-hal yang bersifat ideologis.
[2]
Karl Popper, “The Rationality of Scientific Revolution”, Scientific Revolutions (Ed: Ian Hacking Hacking), New
York : Oxford ,
1981, page. 82.
[3]
Thomas S. Kuhn, “Logic of Discovery or Psychology of Research?”, The Essential Tension: Selected Studies in
Scientific Tradition and Change, Chicago: The University of Chicago Press,
1977, page. 270.
[4]
Thomas S. Kuhn, Ibid., page. 271.
[5]
Thomas S. Kuhn, Ibid., page. 280.
[7]
W. H. Newton-Smith, Op.cit., page. 44.
[8]
In Nugroho Budisantoso, “Prinsip Falsifikasi Popper” dalam Driyarkara edisi 2000, Jakarta :
STF Driyarkara, hal. 33.
[9]
In Nugroho Budisantoso, Ibid., hal.
36.
[10]
A.F. Chalmers, What is This Thing Called
Science?, Milton Keynes : The Open
University Press, 1978, page. 90.
[11]
Thomas S. Kuhn, The Structure of
Scientific Revolutions, Chicago : The University of Chicago Press, 1970,
page. 35.
[12]
A.F. Chalmers, Ibid., page. 92.
[14]
Contohnya adalah tentang kaitan antara konsep aether dengan gerak bumi dalam
teori Maxwell. Aether itu
dipostulatkan Maxwell untuk menjelaskan gerak gelombang elektromagnet (seperti
cahaya dan sinar-X). Aether itu dimengerti sebagai sesuatu yang tidak ada massa atau warna dan tidak bisa ditemukan secara kimia atau fisik.
Teori ini menemukan rintangan utama dalam eksperimen oleh Michelson-Morley
(1881) yang dibuat khas untuk menyelidiki kecepatan bumi dalam kaitan dengan
aether. Hasil penelitian ini harusnya menunjukkan perubahan dalam kecepatan
cahaya tetapi menunjukkan bahawa kecepatan cahaya dalam aether itu tidak
berubah dalam situasi apapun. Pada tahun 1905, konsep aether itu ditinggalkan
ketika Albert Einstein membuat hipotesa bahwa kecepatan cahaya dan semua
gelombang elektromagnet adalah tetap (universal
constant). Hipotesa Einstein ini diterima mayoritas komunitas ahli sains
hingga hari ini. (lihat tulisan Mark
Aloysius dengan judul Peran
Paradigma dan Komunitas Ahli Sains dalam Kegiatan Sains menurut Thomas Kuhn, STF
Driyarkara, 2005)
[15]
Contoh dari dorongan kebutuhan sosial tersebut adalah sebagai berikut. Ketika
muncul system kalender yang baru menurut teori Copernicus, masyarakat kemudian
tergerak untuk meninggalkan system penghitungan astronomi Ptolomeus yang
sebelumnya dipakai. Teori Copernicus itu lebih dipakai karena lebih sederhana
(simplictiy). daripada
[16]
A.F. Chalmers, Op.cit., page. 97.
[17]
Thomas S. Kuhn, Op.cit., page. 291.
[18]
Thomas S. Kuhn, Ibid., page. 290.
[19] Paul
Feyerabend, Against Method, London:
Verso, 1993, page. 10-11. Feyerabend memberikan sebuah contoh, berupa pengakuan
Einstein tentang the external conditions,
yaitu kondisi eksternal yang ‘are set
for (the scientist) by the facts of experience do not permit him to let himself
too much restricted, in the construction of his conceptual world, by adherence
to an epistemological system. Dalam
bidang social, dia menunjukkan pula bagaimana Vladimir Lenin juga mengajak
semua orang untuk siap berganti dari satu konsep ke konsep yang lain, demi
revolusi.
[20] Paul
Feyerabend, ibid, page. 12. ‘Epistemological prescriptions may look
splendid when compared with other epistemological prescriptions, or with
general principles – but who can guarantee that they are the best way to
discover, not just a few isolated “facts”, but also some deep-lying secrets of
nature?’
[21] Paul
Feyerabend, ibid., page. 12 Dengan
ini, dia mencontohkannya dengan kaki-kaki gadis-gadis China yang dipakaikan
sepatu yang sangat sempit.
[22] Paul
Feyerabend, ibid., page. 235. Menurut
Feyerabend, agama dapat menjadi suatu sistem yang demikian, karena agama
mengembangkan diri sebagai suatu wilayah di luar tradisi, jadi meski tradisi
terus berkembang, terus berubah, tidak demikian yang terjadi dengan agama.
Dalam wilayah tersendiri itu, agama memerikan segala hal secara detail, metode
juga prakteknya.
No comments:
Post a Comment